Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Melukis Bulan

8 Juli 2015   11:11 Diperbarui: 8 Juli 2015   11:12 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang begitu terik. Terik sekali. Matahari. Ya, matahari seakan sedang marah. Matahari seperti hendak memuntahkan semua energi panas yang dipunyai. Tak tanggung-tanggung. Rasa panas bagai membakar kepala hingga tembus ke ubun-ubun turun ke hati dan meledak di kaki.
Wajar bila jalanan sepi. Ada mobil tapi tak semacet waktu pagi atau sore hari. Mungkin, orang-orang lebih senang bersembunyi. Bersembunyi di ruang-ruang sejuk ber-AC. Mereka tak sadar, kalau dari AC itulah bumi semakin bertambah panas. Seakan tak ada yang berani menantang keganasan terik matahari. Kecuali satu anak, yaitu Rini.
Rini berjalan tanpa teman siang itu. Berjalan sendiri. Mulutnya komat-kamit. Tak jelas apa yang diucapkan. Yang jelas terlihat seperti dukun yang sedang menyembuhkan penyakit ayan. Rini memang sedang menyumpah-nyumpah. Tapi entah siapa yang diserapahinya. Yang pasti, keringat Rini sudah seperti sungai. Mengalir ke mana-mana.
Seandainya...
“Masa minta ganti HP saja, malah dimarahi,” kata Rini pada diri sendiri.
Hari ini. Ya, hari ini Rini ingin pergi. Rini tak mau pulang. Rini marah. Marah pada ayah. Sekarang ayah tak seperti dulu lagi. Dulu, setiap kali Rini meminta sesuatu, selalu diberi. Pokoknya, Rini tinggal mengatakan mau apa, ayah Rini pasti akan segera membelikannya.
Mungkinkah ayah sudah tak sayang Rini lagi?
Padahal Rini adalah anak satu-satunya. Rini tak punya kakak. Rini juga tak punya adik. Masa anak semata wayang tidak dimanja. Untuk apa banyak harta kalau bukan untuk anaknya?
Rini bertekad dalam hati. Betul. Bertekad untuk pergi. Pergi dari rumah. Biar ayah. Juga bundanya. Tahu apa yang Rini mau. Bunda juga sekarang seperti ayah. Selalu membela apa yang diputus ayah. Termasuk saat ayah tak mau membelikan HP baru.
Rini bisa saja pergi. Pasti akan dicari. Tapi Rini akan pergi ke mana? Ke rumah saudara? Kalau ke rumah saudara pasti akan ketahuan juga. Pasti tak akan dijemputnya. Pasti dibiarkan Rini di rumah saudara. Kalau sudah begitu, Rini pasti marah sama diri sendiri. Rini tak dihargai. Walaupun ngedumel, Rini pasti akan pulang sendiri.
“Ke mana Rin?” ada suara memanggil.
Rini tengok ke belakang. Tak ada orang di belakang. Jalanan memang benar-benar sepi. Mungkin Rini hanya salah dengar. Rini pun meneruskan langkahnya.
“Rin, Rini!” panggilan itu tambah keras.
Rini tengok ke seberang jalan. Tapi tak kelihatan ada orang yang dikenalnya di seberang jalan. Yang ada di sana justru nenek-nenek yang mau menyebrang jalan tapi belum bisa menyeberang. Masa iya, nenek-nenek itu yang memanggil Rini? Perasaan, Rini tak mengenal nenek itu. Walau begitu ia perhatikan nenek-nenek itu dengan cermat. Mukanya yang keriput. Pakaiannya yang agak lusuh. Pasti bukan nenek Rini yang tinggal di Yogya. Masa nenek Rini jadi begitu miskin, sampai-sampai ke Jakarta jalan kaki segala?
Rini tertawa. Dalam hati. Sendiri.
“Rini, di sini!” seseorang melambaikan tangan.
Oh rupanya Ria. Dia ada di seberang jalan, tapi ada di dalam restoran Padang. Sedang apa dia?
“Mau ke mana, Rin?” tanya Ria saat sudah menyusul dan berada di samping Rini.
Rini hanya menggeleng. Tanpa suara. Tanpa kata-kata.
“Ke mana?” ulang Ria.
“Tak tahu!” jawab Rini sambil mengusap dahi yang basah. Dibanjiri oleh keringat. Juga pipi yang memerah. Terpanggang sinar matahari siang yang begitu garang.
“Kamu kenapa Rin?” tanya Ria yang mulai curiga. Pasti ada masalah yang sedang dihadapi Rini. Biasanya Rini selalu ceria. Biasanya Rini selalu tertawa. Biasanya Rini selalu cerewet. Malah lebih kicau dari burung. Ya, bahkan teman satu kelas Rini tak ada yang mampu menyaingi kicauan Rini. Tapi kenapa sekarang Rini kok malah tak ada suaranya kecuali ditanya?
Hanya mata sendu. Ada sedih yang meronta. Ada tangis yang ditahan. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tapi semua itu tersumbat di kerongkongan.
Mungkinkah Rini bercerita pada Ria?
Rini terdiam. Rini tercekam. Rini bingung. Rini linglung. Rini salah tingkah. Rini cuma bisa mengeluarkan air mata. Rupanya Rini menangis juga.
Bagaimana menyampaikan sesuatu yang menyesakkan hati?
Rini terus melangkahkan kaki. Walau tak tahu arah mana yang hendak dituju. Perut Rini beberapa kali berbunyi. Sebuah tanda bahwa perut Rini sudah saatnya untuk diisi. Tapi diisi dengan apa? Rini sekarang tak punya apa-apa. Ada uang di saku hanya tinggal satu lembar. Tak lebih dari sepuluh ribu. Mau beli apa dengan uang yang hanya segitu?
Ria terus mengiringi langkah Rini. Ria pasti takut Rini bunuh diri. Soalnya banyak orang yang bunuh diri akhir-akahir ini. Ria tak mau kehilangan bekas sahabatnya ini. Walaupun setelah kelas delapan tak bareng-bareng lagi, tapi dulu, di kelas tujuh, Rini adalah sahabat terbaik Ria. Tak mungkin sekarang membiarkan Rini menanggung beban sendiri.
“Rin, Rini!” panggil Ria sambil terus membuang kekhawatirannya. Rumah Ria dari sekolah cukup jauh. Ria saja tak pernah mau jalan kaki. Panas matahari pasti akan membakar. Belum lagi kalau harus menanggung rasa haus yang berkolaborasi dengan rasa lapar .
Rini mencoba untuk tidak peduli. Langkahnya diteruskan lagi. Semau kaki. Jalan, jalan, dan jalan. Sudah dua jam. Ya, dua jam Rini berjalan. Tapi belum juga Rini menggaet tujuan.
“Mau ke mana, Rin?” Ria menggaet tangan Rini. Mencoba menghambat langkah Rini. Kalau pun Rini mau bunuh diri, agar bunuh dirinya jangan terburu-buru. Biar Rini mikir sedikit saja sehingga membatalkan bunuh dirinya.
Rini hanya menggeleng. Menggeleng. Dan menggeleng. Sampai kepalanya hampir tengkleng.
“Maksudmu apa, Rin?” Rini masih tetap membisu. Suaranya tak ada. Satu patah pun. Tapi bulir-bulir kaca itu terus tertumpah dari matanya.
“Tah tahu,” jawab Rini setelah capai menggeleng-geleng dari tadi. Mudah-mudahan Ria dapat memahami.
Dan Ria pun senang. Bukan karena sudah tahu tujuan Rini. Tapi karena Rini sudah mau berkata. Walau hanya kata-kata itu yang muncul dari mulut Rini. Tak apalah. Berarti Rini masih sadar diri. Ria mencoba strategi baru.
“Bagaimana kalau kamu ikut aku saja?” tawar Ria. Rumah Ria memang tak jauh dari restoran padang tadi. Kalau jalan di depan restoran Padang dan kebetulan sedang hujan, terus kepeleset, pasti jatuhnya sudah di dalam rumah Ria.
“Ke mana?” Rini mulai terpancing. Ria berbunga-bunga hatinya. Ria memang teman yang baik. Langsung mengajak Rini berbalik.
“Ke rumah makan padang itu. Aku tahu, dari wajah sayumu, kamu pasti belum makan. Mukamu pucat tuh. Kalau kau tidak segera makan, pasti berbahaya,” kata Ria.
“Ah,” Rini khawatir juga.
“Mau tahu sebabnya?”
Rini mengangguk penasaran.
“Cacing-cacing dalam perutmu akan membunuhmu karena dia tak punya makanan lagi,” kata Ria sambil tertawa.
“Enak saja! “ rasa humor Rini mulai ada lagi.
Sekarang sudah mulai ada. Ada senyum di bibir Rini. Ria ternyata masih seperti dulu. Waktu mereka sama-sama kelas tujuh. Selalu ceria dan ceria. Selalu banyak tawa. Maka seharusnya sangat cocok kalau Ria itu nama panjangnya Ceria Tawahati. Bukan Maria Lasmiati.
“Sudahlah. Aku sudah lama kenal kamu. Kalau kamu seperti ini, pasti kau sedang menggendong masalah dan tak tahu harus diturunkan di mana? Iya kan?” kata Ria.
Rini hanya mengangguk. Ternyata benar. Seberat apa pun masalah, pasti agak ringan kalau ketemu teman. Sahabat. Tempat berbagi. Sekarang Rini sudah agak lega, bukan karena masalah sudah tuntas, tapi karena perutnya sudah terisi jadi tak melilit lagi.
“Aku sumpek di rumah,” keluh Rini.
“Kenapa?” tanya Ria.
“Ayahku. Ayahku. Juga Bundaku, “ dada Rini seakan sesak. Rasa marah kepada ayah dan bundanya begitu besar. Besar sekali.
“Kenapa dengan ayahmu? Bundamu juga?” bukan memancing. Rini hanya berharap Rini mau mengeluarkan rasa marahnya sehingga hatinya menjadi lebih plong.
Tapi tak.
Rini tak ingin bercerita banyak. Rini justru ingin istirahat. Karena Ria tahu itu, makanya Ria segera mengajak Rini menginap di rumahnya.
***
Malam terus merayap. Begitu cepat menebar gelap. Mengirim sepi. Sampai ke hati Rini. Sehingga Rini belum juga bisa memejamkan mata. Padahal Ria entah sudah sampai mana. Mungkin sudah mimpi ketemu Rondi. Cowok pujaan hatinya itu.
Rini ingat ayah. Ayah. Juga Bunda. Mereka berdua sebetulnya baik. Semua yang diminta Rini selama ini sudah selalu dituruti. Tapi Rini memang tak pernah puas hati. Selalu ada yang diminta. Kadang-kadang sesuatu yang sudah punya dua.
Betulkah ayah dan Bundanya sudah berubah?
Karena capai, Rini terlelap juga. Sampai tak ingat apa-apa. Baru tergeriap bangun saat ada yang menyenggol tubuhnya. Ria sudah bangun.
“Mau ke mana, Ria?” tanya Rini bingung saat melihat Ria bergegas keluar kamar.
“Kamu tidak dengar?” Ria malah balik bertanya.
“Dengar apa?” Rini tambah tak mengerti.
“Azan.”
“Dengarlah!” kata Rini sambil berputar hendak memejamkan mata lagi. Mata Rini memang masih terasa berat. Perasaan baru saja terpejam. “Emangnya aku tuli!” lanjutnya.
“Makanya ayo!” ajak Ria.
“Ngapain?” Rini bingung lagi. Biasanya Rini memang bangunnya tak sepagi ini. Kalau kebetulan terbangun agak kepagian, maka Rini akan menyelesaikan tidurnya sampai matahari menusup ke kamarnya.
“Kalau ada azan ngapain?” goda Ria.
Maka Rini pun bingung sendiri. Azan yang biasanya Rini dengar, hanyalah azan Magrib. Saat azan Magrib, Rini mencari minuman. Azan selesai, Rini menonton televisi lagi. Tidak ada yang istimewa saat azan. Tak ada yang dikerjakan Rini setelah azan. Kecuali meneruskan menonton sinetron. Mau apa lagi? Ayah belum pulang. Bunda juga belum pulang. Mbak Anis salat.
“Oh iya salat,” jawab Rini.
“Ayo!”
“Salat apa?”
“Masya Allah.”
“Kalau pagi-pagi memang salat apa?” Ria heran juga sama temannya yang satu ini. Masa tidak pernah salat Subuh, sih?
“Taaaaaahhuu.”
“Kamu tidak pernah salat subuh, ya Rin?” tanya Ria. Sebetulnya hanya ingin bercanda. Karena tak mungkin ada manusia yang tak kenal Subuh padahal dia selalu mengaku beragama Islam. Islam KTP, dong!
Rini menggeleng. Rini memang tidak pernah salat. Apalagi salat subuh. Bangun paginya saja sudah jam enam. Mandi. Terus ngacir. Tak ada kamus Rini salat Subuh.
“Sekarang coba deh!” ajak Ria.
Malas. Mengantuk.
Tapi malu kalau tidak ikut salat. Rini mengikuti Ria. Tapi Ria malah pergi ke halaman depan. Sehingga Rini pun kebingungan.
“Mau salat di mana, Maria?” tanya Rini sambil mencoba mengembalikan kesadarannya yang baru kembali setengah itu. Rini memang sering lama loading saat baru bangun tidur.
Ria tertawa.
Rini semakin tidak mengerti.
“Aku memang tidak salat, Rin,” kata Rini.
Rini baru tersadar. Maria memang bukan muslim. Masa iya salat. Rupa-rupanya Maria hanya mengingatkan kewajiban Rini sebagai seorang muslim. Rini jadi malu sendiri.
“Salatnya di belakang. Bareng Mbak Minuk,” kata Maria.
Berwudlu. Berwudu itu apanya dulu ya? Rini pun melirik Mbak Minuk. Oh, mukanya dulu. Terus tangan, terus rambut, terus kuping, terus kaki. Pokoknya ikuti saja apa yang dilakukan Mbak Minuk.
Mbak Minuk tahu. Mbak Minuk tersenyum. Biar saja.
Air wudu di pagi hari ternyata menyegarkan. Walau tadi agak ngantuk berat, tapi langsung menjadi segar saat tersentuh air wudu. Pikiran juga jadi terang. Jangan-jangan karena rajin salat Subuh maka Mbak Minuk mukanya terlihat bersih berseri. Ingin juga Rini memiliki muka sebersih muka Mbak Minuk itu.
Usai salat, Rini ke halaman depan. Mencari Maria yang tadi duduk di depan. Eh, ternyata sekarang sedang berolah raga. Rini ingin ikut juga. Tapi Maria malah mengajak pergi.
“Mau kemana lagi?” tanya Rini.
“Olahraga,” jawab Ria sambil melangkah keluar halaman.
“Olahraga apa?”
“Jalan kaki. Ikut, Yuk!” ajak Maria.
Rini tak menolak.
Rini mengikuti Ria jalan pagi. Tapi ada yang aneh. Sepanjang jalan, Ria memunguti plastik di depan beberapa rumah. Persis pemulung. Kenapa ya?
“Untuk apa Ria?” tanya Rini yang juga tak tahu maksud Maria mengumpulkan plastik-plastik itu.
“Ini aku kumpulkan untuk melukis,” jawab Maria yang sudah pasti menambah ketidaktahuan Rini.
“Melukis?”
“Iya, Rin. Pasti kamu penasaran, kan?”
Jalanan pagi memang sepi. Hanya satu dua orang yang sedang olahraga pagi. Udaranya sejuk. Sejuk sekali. Menyehatkan. Beberapa orang menyapa Ria. Ria pun membalasnya. Sepertinya banyak yang menyukai Ria.
“Melukis apa?” tanya Rini penasaran.
“Melukis bulan.”
“Melukis bulan?” Rini mengucapkan dengan separuh mulutnya melongo. Karena Rini memang tak tahu maksud kata-kata Ria yang hendak melukis bulan. “Emang bulan bisa dilukis dengan plastik?”
Rini heran. Tapi daripada rasa herannya tak terjawab, akhirnya Rini pun memutuskan. Keputusannya adalah membantu Ria mengambil sampah plastik yang sepertinya sudah disiapkan oleh para penghuni rumah untuk Ria. Rini mengambil kantung di rumah yang ada di samping kiri jalan. Karena Ria sudah memungut kantung plastik yang ada di rumah sebelah kanan jalan.
Hingga cepat selesai.
“Kemana lagi?” tanya Rini karena sudah selesai tapi masih terus berjalan.
“Ikut saja Rin. Kamu pasti akan melihat lukisan bulan,” jawab Ria membuat semakin besar rasa penasaran Rini.
Setelah berkelak-kelok masuk gang, akhirnya Ria dan Rini sampai di tempat itu. Sebuah rumah yang sudah tua tapi masih terjaga kebersihannya. Ria langsung disambut anak-anak kecil.
“Kamu lihat, Rin?” tanya Ria sambil menyerahkan karung yang terisi penuh plastik.
“Apa?” lagi-lagi Rini tak tahu maksud Ria.
“Lukisan bulan?”
“Emang kamu sudah melukis?”
“Sudah!”
“Sudah? Di mana lukisannya?”
“Itu....”
“Mana?” masih juga Rini seperti anak yang baru bangun tidur. Separuh nyawanya masih belum kumpul.
“Itu, tuuuuuhh...!” tunjuk Ria.
Masih juga belum tahu. Akhirnya Ria pun menjelaskan.
“Rini. Maksudnya begini Rin. Melukis bulan itu istilah yang dibikin nenekku dulu. Waktu nenekku masih hidup. Aku selalu diajaknya untuk melukis bulan. Awalnya saya juga tak tahu apa itu melukis bulan. Ternyata nenekku jadi tukang pulung plastik. Dikumpulkan. Kalau sudah terkumpul terus diberikan pada anak-anak pemulung juga,” jelas Ria. “Mana lukisan bulannya? Ada di senyum mereka,” lanjut Ria.
Rini tersenyum. Baru deh paham, maksud Ria tentang “melukis bulan”. Ternyata senyum anak-anak itulah lukisan bulan. Betapa indahnya.
“Kamu lihat deh, kalau anak-anak ini tersenyum, pasti kaya lukisan bulan. Itu maksudnya,” kata Ria yang melihat lukisan bulan juga muncul di wajah Rini.
Rini pun tersenyum.
Seumur-umur, baru kali ini Rini mendapatkan ucapan terima kasih dengan ketulusan. Ternyata indah juga membantu anak-anak panti asuhan ini. Mereka senang, kita juga gembira.
Rini jadi berpikir. Kenapa selama ini Rini hanya bisanya meminta dan meminta. Dan marah kalau permintaannya tak dikabulkan? Padahal, memberi ternyata lebih indah. Pantesan dalam hadis disebutkan “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Karena memang sangat indah menjadi tangan di atas. Baru kali ini. Betul-betul baru kali ini Rini merasakan itu.
Melukis bulan. Sesuatu yang indah. Mulai sekarang, Rini juga ingin melukis bulan.
***
Pagi. Hari Minggu. Rini sudah bangun. Sudah Salat Subuh. Bahkan sudah mandi. Memang hari yang luar biasa. Ayah dan Bunda Rini pagi ini tak henti-hentinya mengucap syukur. Inilah karunia yang terindah di dunia. Seorang anak yang manis.
“Kenapa Rin?” tanya Bunda saat mendengar usul Rini.
“Rini ingin melukis bulan,” jawab Rini dengan penuh semangat.
“Apa itu?” tanya bundanya tidak paham.
Rini pun menjelaskan. Bundanya mendengarkan. Dengan seksama. Dengan bangga. Anaknya memang sudah berubah. Bukan hanya seratus persen. Tapi anaknya berubah 180 derajat. Betul-betul membahagiakan.
Ayah juga tak mau ketinggalan. Ayah ternyata juga menguping. Sambil terus terenyum. Bahagia. Juga bangga. Indahnya dunia, tak ada apa-apanya dibanding hati ayah Rini yang sedang berbunga-bunga.
“Kalau begitu Bunda ikut,” bunda langsung bangkit dan hendak berdandan. Tapi langsung dicegah Rini.
“Begini saja, Bunda. Kita kan tidak hendak ke pesta. Tapi hendak melukis bulan,” kata Rini.
Bunda tersenyum. Diciumnya Rini. “Hanya ganti baju, sayang. Tunggu sebentar ya?”
“Ayah juga ikut,” ternyata ayah Rini justru sudah siap pergi. “Kamu tak jadi beli HP?” tanya ayah Rini.
“Rini mau melukis bulan saja, Yah. HP Rini masih bagus kok.”
Rini, ayah, dan bundanya pergi. Pergi untuk melukis bulan. Ayah dan bunda Rini tersenyum.
Seperti lukisan bulan.
Mobil pun berbelok ke panti asuhan. Disambut begitu banyak lukisan bulan. Di wajah-wajah tulus penghuni panti asuhan.
Rini. Rini sekarang telah menemukan kebahagian. Karena bisa melukis bulan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun