Kalau Anda singgah sebentar saja di perumahanku yang ada di pinggiran Jakarta, Anda akan bisa bertemu tukang jamu yang bernama Yu Karni. Â Dia sudah lama sekali jualan di perumahanku. Â Sehingga semua warga sudah mengenalnya begitu dekat. Â Bahkan terkadang lebih dekat dari seorang saudara.
Yu Karnilah yang selalu mengabarkan segala peristiwa yang ada di perumahanku. Â Kalau ada tetangga yang sakit, kami sebagai tetangga terkadang tak tahu. Â Karena rata-rata, kami memang pekerja. Â Pergi pagi dan pulang malam. Â Kadang malah larut baru nyampai rumah. Â Sehingga kabar tentang tetangga tak sempat kami ketahui. Â Hari Sabtu, saat kami libur, lebih sering dipergunakan untuk acara keluarga. Â Sementara saat hari minggu datang, kami sering menggunakannya untuk istirahat di rumah. Â Malas-malasan. Â Dan Yu Karni yang juga menjadi langganan jamu keluargaku merupakan pemberi berita itu.
Jika tak ada Yu Karni, kami, keluarga kompleks ini akan betul-betul terkurung dalam kotak masing-masing. Â Yu Karnilah penghubung kotak-kotak itu.
Mungkin Anda akan merasa iba kepada Yu Karni dengan sepeda bututnya. Â Sepeda yang sudah dipakai Yu Karni sejak aku mengenalnya, puluhan tahun yang lalu. Â Juga pakaian yang lebih mirip orang kampung yang benar-benar kampung.
Aku juga pernah menumpahkan rasa kasihanku pada Yu Karni. Â Aku pikir Yu Karni itu orang miskin yang akan bahagia jika kita membantunya. Â Tapi, aku salah total. Â Yu Karni memang tidak menolak apa yang kita berikan, tapi dari sorot matanya, Yu Karni jelas selalu ingin mengatakan, "Jangan anggap rendah kami".
Waktu itu, aku memberinya beberapa baju bekas. Â Masih layak pakai. Â Dan Yu Karni menerima pemberianku itu. Â Hanya saja, waktu aku mengendarai sepeda motor, aku ketemu orang pemulung yang menggunakan baju bekasku itu. Â Bukan Yu Karni. Â Aku agak marah. Â Kenapa pakaian yang aku berikan kepada Yu Karni kemudian oleh Yu Karni diberikan kembali kepada orang lain.
"Baju itu aku berikan karena dia lebih mmerlukannya," jawab Yu Karni.
Suara Yu Karni biasa. Â Tapi terdengar di telingaku jelas tidak biasa. Â Kata-kata Yu Karni seperti sebuah tusukan pisau paling tajam tepat di jantung hati ini. Â Sakitnya sangat dan sangat sekali.
Sejak saat itu, aku seakan sedang menanam dendam. Â Dendam yang kian hari kian membesar. Â Dan sebentar lagi hendak dituai.
Pada suatu hari, bosku mengundang karena anaknya menikah. Â Aku dan suami datang dengan pakaian paling bagus. Â Aku hendak menunjukkan rasa hormat dengan cara memakai pakaian terbaik yang kami miliki.
Acara pernikahan anak bos dilaksanakan di sebuah gedung paling diimpikan setiap orangtua untuk pernikahan anaknya. Â Wajar saja. Â Dia memang seorang bos. Â Undangannya juga pasti orang-orang penting.
Mungkin Anda juga akan kaget seperti aku. Â Karena orang yang duduk di sisi bosku adalah orang yang selama ini berkeliling di perumahanku menjajakan jamu. Â Tak salah. Â Dia itu Yu Karni.
"Bu Syafei," sapa Yu Karni saat bersalaman denganku.
Aku tersipu.
Lalu aku mendengar cerita tentang istri bosku dari teman kantor yang sudah lebih dulu bekerja di situ.
"Dia itu perempuan ulet.  Tak mau tinggal diam menikmati uang suaminya.  Dia mendirikan perusahaan jamu.  Meski pegawainya banyak, ia masih mau menjajakan jamunya keliling tempat tinggalnya.  Dia ingin menunjukkan, kalau perempuan itu kuat dan hebat bukan karena orang lain.  Perempuan akan  hebat jika bisa berdiri di atas kaki sendiri."
"Kalau kamu datang ke rumahnya, kamu pasti akan lebih bangga lagi dengan istri bos. Â Karena dia telah betul-betul memberdayakan banyak ibu-ibu dengan jamu buatannya."
Masih banyak lagi cerita temanku itu tentang Yu Karni. Â Dan kepalaku semakin pusing karena merasa diriku terlalu kerdil dibanding Yu Karni yang selama ini aku anggap orang tak berharga hanya karena dia seorang penjual jamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H