Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Omong Kosong tentang "Kritik Membangun"

27 Desember 2013   10:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika "membangun dengan kritik" yang dilakukan bangsa ini, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.  Karena setiap kritik, yang pada dasarnya sering dilandasi oleh perbedaan (baik dalam ideologi atau sekedar pendekatan), bisa memperkaya setiap langkah yang sedang atau akan dilakukan oleh bangsa ini.  Sikap frigid terhadap kritik hanya akan menjadikan bangsa ini kerdil dan tak dapat menghindar dari kemungkinan paling buruk, juga tak dapat memperkaya sudut pandang dalam menghadapi setiap persoalan yang datang menghampiri.

Dan saat ini, pendapat yang saya kutip dari seorang Daniel Dakhidae semakin relevan walau hal itu sudah dikemukan dua dekade yang lalu.  Di era demokratisas, di era segala masyarakat selalu "rewel" terhadap banyak hal, sikap atau perspektif menjadi Subjek bagi siapa pun yang menerima kritik adalah tempaan jiwa besar yang akan menjadikan bangsa ini juga bangsa yang besar.  Kerewelan dalam demokrasi adalah jalan agar setiap langkah terjamin baik bagi semua elemen masyarakat, bukan hanya untuk para pengambil keputusan belaka.

Kritik pada saat ini sudah menjadi hal biasa.  Mantra orde baru tentang "Kritik membangun" sudah mati bersama tumbangnya orde penopang mantra tersebut.  Tapi, kita masih bisa melihat, bagaimana para pejabat publik masih hidup bagai raja yang selalu menganggap dirinya wakil Tuhan di muka bumi dan menjadi sebuah keharamjadahan kalau ada rakyat kecil mengkritik kebijakannya.  Pejabat yang jelas-jelas masih terkungkung dalam pola kehidupan publik orde baru walau secara tidak langsung.

Mengenai "Kompasiana", beberapa waktu lalu, salah satu puisi saya yang berjudul "Asu" diberangus dengan alibi akan mengusik SARA.  Ini juga mantra orde baru yang ternyata masih disembah oleh kompasiana.  Untung saja "Kompasiana" hanya bisa memberangus tulisan saya dan tak bisa menjebloskan saya ke dalam jeruji besu sebagaimana SARA pada masa orba.  SARA pada masa orde baru adalah sarana paling efektif untuk menghajar siapa pun yang berbeda pendapat.  Mantra SARA seperti lafalan para intelijen untuk mengganyang setiap peredaan.  Dan anehnya, "Kompasiana" masih  menjadi penyembah berhala ini.

Perbedaan harus dirayakan.  Paling tidak seperti iklan yang ditunjukkan oleh Kompas.com.  Perbedaan adalah sunatullah.  Seandainya Tuhan akan menjadikan bumi ini hanya untuk satu umat dan satu suku, pasti bisa.  Tapi kenapa hal yang bisa dilakukan oleh Tuhan tak juga kunjung dilakukan?  Apa hanya karena Tuhan hendak beriseng ria melihat darah mengaliri bumi-Nya?  Jelas tidak!  Ada tujuan yang sangat mulia yang dicoba embankan oleh Tuhan kepada manusia dalam perbedaan yang begitu majemuk.  Tuhan tak pernah main-main.  Hanya kitalah manusia yang sering lupa melihat dengan mata hati.  Terkadang kita melihat justru dengan mata iri hati dan dengki.

Kompasiana juga harusnya merayakan perbedaan.  Kritik adalah remah-remah pupuk penyubur bagi kehidupan yang lebih baik di masa depan.  Admin Kompasiana harus menyadari akan hal itu.  Bahkan admin Kompasiana harus menjadikan kritik dan perbedaan sebagai ideologi.  Tanpa itu, Kompasiana hanya akan berbual belaka akan perbedaan dan kritik.

Kritik memang akan selalu menjatuhkan.  Kritik memang akan menghajar sendi-sendi kita.  Tapi, terpuruk atau tidaknya kita oleh kritik, hanya kitalah yang bisa membuatnya.  Jadikan diri kita sebagai subjek dari sebuah kritik.  Jadikan kritik sebagai jembatan untuk menuju kondisi yang lebih baik.  Jadikan kritik sebagai menu kehidupan publik kita.

Ayo kritik saya!  Jangan bermimpi Anda dapat memurukkan saya, karena setiap kritik Anda akan saya jadikan pijakan menuju tangga ketinggian jiwa saya.  Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun