Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibu Prita Memang Layak Dihukum

12 Juli 2011   09:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:44 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa ibu Prita layak dihukum?

Pertama, untuk menunjukkan bahwa hukum di negeri ini memang sudah bobrok sebobrok-bobroknya sehingga seorang ibu rumah tangga yang mengeluh akan pelayanan sebuah rumah sakit dipenjara.  Biar rakyat Indonesia semakin melek lagi.  Biar ada revolusi.  Tunggu saatnya nanti.

Kedua, hakim memang bukan Tuhan.  Sehingga kita tak boleh memutlakkan hakim.  Hakim harus diawasi.  Termasuk hakim agung di mahkamah agung.  Komisi Yudisial, teruskan kritikmu terhadap MA.  Buka borok-boroknya.  Kalau mereka malah menyerang balik jika diawasi, ajak kami-kami untuk menghadapinya.  Rakyat tak pernah rela negaranya diacak-acak oleh siapa pun.  Mari kita awasi hakim, semuanya tanpa kecuali.  Biar KPK kebingungan menangkap yang mana duluan.

Ketiga, biar rakyat memiliki landasan untuk melakukan revolusi.  Reformasi hanya menghasilkan badut-badut.  Sekalian aja revolusi.  Biar kita susah bareng-bareng.  Terlalu keenakan para pemimpin kita.  Berebut peluang untuk pada korupsi.  Sementara kami harus bekerja keras mencari sesuap nasi.

Keempat, biar rakyat memiliki landasan untuk melakukan revolusi.  Reformasi hanya menghasilkan badut-badut.  Sekalian aja revolusi.  Biar kita susah bareng-bareng.  Terlalu keenakan para pemimpin kita.  Berebut peluang untuk pada korupsi.  Sementara kami harus bekerja keras mencari sesuap nasi.

Kelima, biar rakyat memiliki landasan untuk melakukan revolusi.  Reformasi hanya menghasilkan badut-badut.  Sekalian aja revolusi.  Biar kita susah bareng-bareng.  Terlalu keenakan para pemimpin kita.  Berebut peluang untuk pada korupsi.  Sementara kami harus bekerja keras mencari sesuap nasi.

hehehe .... becanda....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun