Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu

24 Februari 2014   16:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Masih banyak orang yang salah dalam memahami Sumpah Pemuda.  Bertanah air satu, berbangsa satu, dan dilanjutkan dengan berbahasa satu.  Untuk yang pertama dan kedua betul, tapi untuk yang ketiga, sangat dan sangat salah.  Karena Supah Pemuda tidak pernah mengikrarkan berbahasa satu, tapi menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Inilah salah satu hebatnya generasi pejuang negeri ini.  Berani menatap kedepan dalam setiap langkahnya.  Coba Anda bayangkan, seandainya bunyi ikrar ketiga dalam Sumpah Pemuda juga pernyataan adanya satu bahasa di negeri ini, apa yang akan terjadi?

Ratusan bahasa daerah langsung tersingkir dan tak terpedulikan.  Dimusnahkan.  Padahal, bahasa daerah adalah bahasa ibu setiap anak di negeri ini.  Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua bagi hampir seluruh anak negeri ini.  Dan lebih lagi, alangkah malunya sebagai bangsa saat tak peduli pada kekayaan negeri yang begitu berlimpah ini?

Untung yang terjadi sebaliknya.  Bahasa Indonesia dijunjung sebagai bahasa persatuan.  Sehingga bahasa daerah yang ratusan dan merupakan kekayaan tak terbilang masih tetap diakui sejajar oleh negara.  Bahasa daerah sebagai bahasa ibu dipelihara dan dilestarikan oleh negara.  Ini memang seharusnya.  Walau pada kenyataan juga masih memprihatinkan.  Bahasa daerah sempat terombang-ambing dalam kurikulum 2013.  Kalau tak ada protes, mungkin pembelajaran bahasa daerah di sekolah sudah dilenyapkan.  Sebuah wujud visi pemerintah yang kurang jelas dan tak sebanding dengan visi para pemuda yang bersumpah pada hampir seratus tahun silam.

Pada tahun 1999, UNESCo menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa Ibu internasional.  Penetapan hari Bahasa Ibu Internasional tersebut berdasarkan ususlan dari Bangladesh.  Pada Sidang Umum usulan itu diterima oleh mayoritas anggota PBB atau 188 menerima dan tak ada satu pun yang menolak.

Mengapa tanggal 21 Februari?

Pada tahun 1952, saat Banglades masih masuk dalam negara Pakistan dan sering disebut sebagai Pakistan Timur, ditetapkan bahasa Urdu sebagai bahasa negara.  Mahasisa dari Pakistan Timur (Banglades) berharap agar bahasa ibu mereka yaitu bahasa Bengali juga dijadikan bahasa negara.

Pecahlah demo besar untuk mengusulkan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi.  Akhirnya, usul tersebut diterima.  Bahasa Bengali pun menjadi bahasa resmi Pakistan.

Pada tahun 1996, warga Banglades mengusulkan ke UNESCO agar tanggal 21 Februari dijadikan Hari Bahasa Ibu Internasional.  Dan baru diterima pada tahun 1999.  Sejak saat itulah, tanggal 21 Februari dijadikan sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun