Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rasionalitas PDIP yang Jungkir Balik

30 Januari 2015   16:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_394036" align="aligncenter" width="544" caption="Logo PDI P. (Kompas.com)"][/caption]

Rasionalitas PDIP jungkir balik. Itu menurut pendapatku setelah begitu kecewa dengan langkah-langkah PDIP akhir-akhir ini sebagai partai pemerintah. Dua kali memilih partai moncong putih dan dua kali juga harus menelan kekecewaan. Tahun 99 lalu, saya termasuk yang ikut mendukung PDIP dengan harapan ada pembalikan dari keterpurukan dan sikap mental bobrok yang berbiak saat Orde Baru. Namun, apa yang terjadi? Hanya kekecewaan yang kudapatkan.

Lalu, aku tak peduli dengan si moncong putih. Hingga pemilu 2014 kemarin. Dimulai saat melihat Bu Mega di Mata Najwa. Ketika sambil meneteskan air mata dan mengatakan, "Indonesia Raya". Aku betul-betul ikut terharu. Dalam hati, sudah ada yang berubah. Semakin mantap lagi, saat si kerempeng Jokowi dengan kesederhanaan dan kejujurannya kemudian dicalonkan sebagai presiden, walau agak kecewa sedikit saat hal itu disebut sebagai "Petugas Partai".

Kemudian apa yang terjadi?

Pertama, lagi-lagi ideologi partai sebagai "Partai Wong Cilik" tergerus saat partai ini ngotot mengorbankan dirinya sedemikian rupa demi seorang BG yang sudah menjadi tersangka. Dari wakil partai yang nongol di televisi seperti Mbak Ria, Mas Yosodiningrat, Bang Junimart, dan yang lain-lainnya (apalagi Trimedya yang selalu terbaca kengototannya) selalu muncul satu gambaran bahwa PDIP tak mau mundur sedikit pun dalam hal ini. Seperti sudah menjadi harga mati. Sehingga pertanyaan pun muncul, "Rasionalitas apa yang ada di balik harga mati PDI?"

Kalau PDIP konsisten dengan "Wong Cilik"-nya harusnya PDIP juga menolak "Wong Licik" sebagai kebalikan. Siapa "Wong Cilik"?  Sudah pasti ya kami-kami rakyat yang tak jelas menurut Tedjo. Nurani bangsa yang ada di bawah kukungan kesengsaraan akibat ulah "Wong Licik". Lalu siapa "Wong Licik"? Sudah pastilah di dalamnya para koruptor.  Karena "Wong Cilik" dikalahkan baik secara struktur maupun kultur oleh manusia jenis tersebut. Sementara itu, PDIP begitu ngotot dengan orang yang sudah tersangka koruptor.

Betul, perwakilan PDIP dalam setiap diskusi selalu bersembunyi di balik formalitas hukum. Namun, apakah "Wong Cilik" peduli dengan formalitas hukum yang dirasa oleh mereka telah menendang mereka dari kehidupan yang lebih baik. Apalagi formalitas hukum yang mengangkangi kemurnian nurani. Betul kata seorang penggiat budaya di sebuah stasiun televisi yang mengatakan bahwa segalanya sudah jelas, mana bajingan dan mana yang bernurani, namun banyak politikus yang melihat dengan kacamata buram penuh kepentingan jangka pendek.  Ya, kami "Wong Cilik" hanya punya nurani untuk melihat persoalan ini. Dan kami merasa ada rasionalitas yang jungkir balik.

Kedua, di tengah kepercayaan yang menurun kepada PDIP sebagai partai pemerintah yang justru petakilan seperti partai opoisi, muncul serangan Hasto kepada KPK dan serangan lebih tajam dari Sabran terhadap Bambang Wijojanto. Semua "Wong Cilik" tahunya KPK itu bertindak membasmi para koruptor dengan kepasrahan jiwa. Siapa yang tidak tahu tingkah polah koruptor yang kejam pada siapa pun yang berani mengungkit kepentingannya. Lihat saja nasib tragis pemimpin redaksi di Lampung dan seorang penggiat LSM antikorupsi di Bangkalan.

"Wong Cilik" terlalu cinta KPK. Sehingga serangan bertubi dari kader-kader PDIP lebih dibaca sebagai cermin rasionalitas yang sedang jungkir balik di tubuh PDIP. Pengorbanan yang seperti di luar akal sehat dari organisasi besar, partai politik besar hanya entah untuk siapa.

Ketiga, serangan yang mulai dibangun melalui Efendi Simbolon kepada Jokowi. Sebagai partai pengusung Jokowi yang sekaligus sebagai partai pemerintah, alih-alih mendukung sepenuh hati segala upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat negeri ini, eh, malah menyerang pemerintahan. Sebuah anomali di mana pun di dunia ini, jika partai pemerintah justru malah menyerang pemerintah dan menyatakan sudah saatnya terjadi pemakzulan.

Kalau melihat rangkaian kejadian di atas, memang saya sebagai "wong cilik" akan bertanya, "Ada apa dengan PDIP? Kenapa rasionalitas partai ini terasa sedang jungkir balik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun