Mendengar kata 'remaja' tentu tidak bisa dilepaskan dari ragam bentuk kenakalannya. Diakui atau tidak bentuk kenakalan remaja kian hari rasanya kian memprihatinkan. Sebuah realitas sosial ini mestinya sama-sama kita sesalkan. Namun, mengapa dewasa ini keadaan tersebut rasanya kian maklum?
Remaja di usianya yang tengah dilanda beragam rasa penasaran, ingin tahu, ingin coba, dan labil tentu belum dapat menimbang-nimbang segala apa yang diterimanya. Banyak budaya-budaya sebagai produk kebebasan yang merusak moral para remaja terlanjur mereka serap. Diserap sebagai sebuah tren, gaya hidup, dan standar sosial di kalangan mereka sendiri. Hal ini sebetulnya tanpa kita amati jauh-jauh pun sudah banyak terlihat lewat tanda-tanda. Namun, sedikit yang bisa menangkap tanda-tanda tersebut. Sehingga akhirnya tercipta pemakluman pada kenakalan remaja sebagai bentuk kekalahan dan menyerah pada arus globalisasi yang terlanjur diserap oleh para remaja tanpa proses filtrasi.
Salah satu bentuk pemaknaan atas realita sosial dapat diwujudkan dalam karya sastra. Baru-baru ini, saya membaca sebuah karya sastra populer yang cukup jelas menggambarkan ironinya realita sosial yang terjadi pada remaja. Novel yang ditulis oleh Salman Aristo itu berjudul My Rocket Queen. Secara garis besar novel tersebut menceritakan romansa antara dua remaja bernama Sabit dan Saira. Namun, di balik kisah romansa yang menantang sekaligus memikat itu, ada realita-realita sosial yang miris yang digambarkan dalam novel My Rocket Queen.
Charles Sanders Peirce, seorang ahli semiotika mengenalkan teori semiotika yang kemudian dikenal dengan Teori Peirce. Dalam teori tersebut Perice menjelaskan tiga unsur yang terdapat dalam tanda yakni representamen, objek, dan interpretan. Lalu Peirce membut trikotomi tanda yang menjelaskan hubungan tanda dengan objeknya. Dengan teori tersebut, saya dapat menganalisis tanda-tanda apa saja yang terdapat di dalam novel My Rocket Queen sebagai potret dari kehidupan sosial dan apa makna tanda-tanda tersebut.
Tanda itu sendiri meliputi ikon, indeks, dan simbol. Dalam novel My Rocket Queen yang saya baca, saya menemukan beberapa tanda ikon, indeks juga simbol. Ikon dalam novel tersebut meliputi. Ikon sekolah, Gang Potlot, dan perkampungan kumuh yang merupakan beberapa latar tempat yang terdapat dalam novel ini merupakan sebuah penanda sosial. Penanda aktivitas sosial juga ketimpangan sosial.
Selain itu, saya juga menemukan tanda indeks seperti indeks perilaku, penampilan, pekerjaan, gaya hidup, hingga penyakit. Indeks-indeks tersebut digambarkan oleh tokoh-tokoh dalam novel ini. Indeks tersebut pula mencerminkan bagaimana realita sosial digambarkan.
Setelah ikon dan indeks, ada pula simbol. Simbol-simbol yang juga merupakan bagian dari tanda terdapat dalam novel ini. Saya menemukan simbol-simbol yang juga merekam potret realita sosial seperti simbol kemiskinan, ketimpangan sosial hingga jatuh cinta. Selain itu, simbol yang juga saya soroti betul adalah simbol kenakalan remaja, misalnya saja digambarkan pada pemakaian obat-obatan terlarang hingga perilaku penyimpangan seksual. Meski jika dilihat kembali latar waktu dari novel tersebut yakni tahun 1998, namun bentuk-bentuk kenakalan remaja tersebut tidak berarti kedaluwarsa, bukan? Era itu saja sudah sebegitu mengerikannya, apalagi sekarang? Bisa saja lebih dari itu. Didukung dengan perkembangan teknologi yang semakin tak terbendung, kebebasan kemudian kian tak terelakan.
Membaca tanda-tanda sebagai refleksi sesekali memang diperlukan. Salah satunya lewat karya sastra. Dengan pisau analisis semiotika, karya sastra selain sebagai bacaan dapat dimaknai lebih dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H