Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun 2024 yang hanya berlaku bagi mahasiswa baru telah menimbulkan banyak reaksi di masyarakat. Meskipun Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menegaskan bahwa kenaikan ini dirancang dengan asas keadilan dan inklusivitas, banyak pihak masih meragukan dampaknya terhadap aksesibilitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Kebijakan kenaikan UKT ini berpotensi memperburuk kesenjangan sosial di Indonesia. Meskipun terdapat prosedur untuk mengajukan keringanan biaya bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu, realitanya banyak yang mengeluhkan proses yang birokratis dan kurang transparan ini.Â
Hal ini menyulitkan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan untuk mendapatkan keringanan UKT. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap mahasiswa, terlepas dari latar belakang ekonominya, dapat mengakses pendidikan tinggi tanpa hambatan finansial yang signifikan.Â
Nadiem Makarim berpendapat bahwa kenaikan UKT adalah langkah yang rasional dan masuk akal. Namun, transparansi dalam penentuan besaran kenaikan ini sangat dibutuhkan. Perguruan tinggi harus menjelaskan dengan jelas dasar perhitungan kenaikan UKT kepada publik untuk memastikan bahwa biaya tambahan ini benar-benar akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan sekadar menutupi defisit anggaran perguruan tinggi.Â
Kenaikan UKT ini mendapat kritik keras karena dianggap sebagai bentuk komersialisasi pendidikan. Pendidikan tinggi seharusnya tidak menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh kalangan mampu. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan negara bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang terjangkau bagi semua. Kebijakan yang berfokus pada peningkatan biaya tanpa memperhatikan dampaknya pada aksesibilitas dapat merusak prinsip keadilan sosial dalam pendidikan.
Kemendikbud Ristek menyatakan bahwa mahasiswa yang merasa keberatan dengan penetapan kelompok UKT mereka dapat mengajukan peninjauan ulang. Namun, proses ini sering kali menjadi tantangan tersendiri. Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 mengatur bahwa mahasiswa atau orang tua dapat mengajukan peninjauan kembali UKT jika terdapat ketidaksesuaian data dengan kondisi ekonomi mereka.Â
Proses ini harus difasilitasi secara adil dan transparan oleh perguruan tinggi untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada yang membutuhkan. Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa hanya 3,7 persen mahasiswa baru yang masuk ke kelompok UKT tertinggi, sementara 29,2 persen berada di kelompok UKT rendah.Â
Meski demikian, fakta di lapangan sering menunjukkan kesulitan bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan keringanan UKT. Pemerintah dan perguruan tinggi harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang adil untuk mengenyam pendidikan tinggi
Untuk memastikan kebijakan kenaikan UKT ini tidak mengorbankan keadilan dan aksesibilitas pendidikan, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:
- Transparansi dan Akuntabilitas: Perguruan tinggi harus membuka data dan dasar perhitungan kenaikan UKT secara transparan untuk diawasi oleh masyarakat.
- Peningkatan Fasilitas dan Kualitas:Kenaikan UKT harus diiringi dengan peningkatan fasilitas dan kualitas pengajaran yang nyata.
- Pengawasan dan Evaluasi Berkala: Pembentukan tim independen yang bertugas mengevaluasi kebijakan kenaikan UKT secara berkala.Â
- Jaminan Inklusivitas: Perguruan tinggi harus memastikan bahwa mahasiswa dari keluarga kurang mampu tetap mendapatkan akses pendidikan melalui program beasiswa dan keringanan biaya yang efektif dan mudah diakses.
Kenaikan UKT tahun 2024 perlu dikaji lebih mendalam dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap aksesibilitas dan keadilan pendidikan. Negara memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kebijakan yang berpotensi memperlebar kesenjangan sosial harus dievaluasi dan diperbaiki.Â