Mohon tunggu...
MOCHAMAD ROZIKIN
MOCHAMAD ROZIKIN Mohon Tunggu... Human Resources - Senior Staff Human Resources and General Affair

Saya sedang giat menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Sendu

29 Oktober 2023   13:35 Diperbarui: 29 Oktober 2023   13:49 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bagaimana aku bisa hidup tanpa kalian di rumah ini?" Aku teringat kata-kata ibu pada malam Idul Fitri ketika aku berusia delapan atau sembilan tahun. Saat itu Bapak belum pulang dari masjid. Ibu membuka lengan kiri untuk kujadikan bantal dan lengan kanan untuk Mbak Alya. Tak peduli sepanjang apa malam akan berlalu asalkan lengan ibu kujadikan sandaran kepala. Sekarang aku merindukan malam-malam panjang ditemani bulan sabit paling terang di jagat raya ini. Rasanya, ingin sekali kembali pada masa kanak-kanak yang selalu dekat denganmu, Ibu. Di rumah kita yang tak terlalu luas tapi lebih nyaman dari tempat mana pun di seluruh dunia. Begitu katamu lagi padaku dan Mbak Alya untuk selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki.

Apartemenku cukup luas untuk ditinggali dua orang. Seluas ruang tengah kita di rumah, tapi dibagi untuk kamar, dapur, kamar mandi, dan toilet. Kasurku empuk berisi bulu angsa asli dan bukan kapuk seperti milik kita di rumah. Teguh tidur di atasku. Ranjang susun dengan kerangka besi ini sudah ada di sini sejak kami datang. Kata Pak Nisida yang mengantarkan kami, mungkin saja itu milik penghuni lama yang sudah lulus dan pulang ke negaranya. Jadi kami tak perlu membeli ranjang baru. Tapi bukan itu yang jadi perhatianku, aku ingin segera lulus seperti orang yang meninggalkan ranjang ini dan pulang ke negaraku, ke rumah kita tentu saja. Dengan membawa apa pun yang aku dapatkan selama hidup di sini.

Aku masih sangat ingat, Bapak mengantarkanku dengan sepeda di hari pertama aku masuk SMP melewati persawahan yang membentang hingga ke ujung kaki bukit barisan yang menghalang-halangi gunung di belakangnya. Bapak menyapa siapa saja yang kami lewati sepanjang perjalanan menuju sekolah baruku. Mbak Alya yang sudah duduk di bangku SMA menyusul dengan sepedanya di belakang, dia mengayuh sambil berdiri agar bisa mengejar aku dan Bapak dengan terus menggodaku dari belakang. Tawa lepas kami terbang dibawa angin sejuk pagi hari.

Aku juga pergi dengan sepeda dari apartemen ke kampus, bedanya tak ada Bapak dan Mbak Alya. Aku dan Teguh selalu saling menunggu jika jadwal belajar kami sama. Dia juga orang yang tertutup dan tak memiliki banyak kawan di sini, hampir sama denganku meski aku sedikit lebih berwarna. Dalam perjalanan menuju kampus, aku melewati jalan besar enam lajur dan dua lajur sepeda di sisi kanan dan kirinya dengan bangunan pertokoan, supermarket, kantor pos, dan perkantoran berbaris di sepanjang tepi jalan. Setelah melewati empat lampu merah dan belok ke kanan, aku masuk jalanan yang lebih kecil dengan barisan kuil berwarna jingga menyala atau merah padam. Kampusku ada di ujung jalan, berwarna ungu gelap dengan tulisan kanji yang artinya "Universitas Kyoto". Bapak sama Ibu, bangga kan? Aku menjadi salah satu mahasiswa Internasional di sini.

Tahukah kalian, banyak hal yang aku pelajari dari orang-orang Jepang tentang adab yang di Indonesia rasanya belum pernah terjadi, atau hanya sebagian kecilnya saja bisa terjadi. Di sini, tak ada orang membuang sampah sembarangan sehingga semua tempat terlihat bersih dan rapi sementara di Indonesia seakan semua tempat adalah tempat sampah. Teguh adalah seorang pelupa, suatu hari dia meninggalkan dompetnya di sebuah kasir robot di supermarket. Lalu beberapa hari setelahnya dompet tersebut kembali ke apartemen kami seakan dia kucing peliharaan yang tahu di mana rumah pemiliknya. Dan dengan isi yang masih lengkap seperti saat Teguh meninggalkan dompetnya, termasuk uang. Seseorang yang menemukan dompet itu mengirimkannya melalui pos. Apa menurut kalian itu akan terjadi di Indonesia? Sepertinya tidak akan pernah. Satu hal lagi, selain orang-orang sangat tertib dalam menunggu antrian, mobil yang berbaris rapi juga sangat tertib menunggu tanpa menyalip atau membunyikan klakson. Aku sangat kagum dan menyukai budaya mereka hingga aku pernah menatap tanpa berkedip, melihat barisan mobil menunggu antrean lampu merah seakan ada seseorang yang menyusun barisannya. 

Ibu sangat menyukai musim kemarau karena bisa membuat kerupuk sendiri dari nasi sisa semalam. Kata Ibu, kerupuk nasi terasa enak jika ditumbuk dan dijemur sendiri, kau tahu kenapa? Karena kau merasakan sendiri setiap langkah dari sebuah nasi sisa menjadi kerupuk yang renyah. Aku juga sering menemani ibu di teras, menunggu nasi tumbuk yang dicampur ragi dijemur agar tidak menjadi santapan ayam-ayam di kampung. Kadang aku memberi tanda dengan daun bawang pada sekeping kerupuk yang hampir kering dan mencarinya lagi setelah digoreng. Itu sangat mengesankan. Seperti menemukan jarum di antara jerami.

Sementara Bapak menyukai musim hujan karena halaman rumah akan selalu basah sehingga ibu tak perlu repot-repot menimba air dari belakang untuk menyiram tanamannya. Kata Bapak, itu mengurangi pekerjaan ibu untuk istirahat. Yang berkurang lagi tentu saja ibu tak bisa menjemur kerupuk-kerupuknya saat musim hujan. Tapi kedua musim di Indonesia tak menentu. Kadang hujan turun sangat lebat di bulan Juli, kadang terik membakar ilalang kering di bulan Desember. Di antara kedua musim yang tak pasti, aku selalu suka melihat rintik daun-daun pohon flamboyan di depang gang berguguran seakan gerimis sedang turun.

Di sini, musim berganti secara teratur setiap tiga bulan sekali. Itu membuat waktu berlalu begitu cepat. Setiap awal Maret udara dingin berangsur mulai hangat memekarkan bunga-bunga yang sebelumnya layu terkubur salju. Hingga bulan Mei menggugurkan kelopak-kelopak ranum ke tanah. Bulan Juni memanas hingga Agustus udara sangat kering dan serangga musim panas terus bernyanyi sepanjang hari. Bulan September, daun-daun segar mulai menguning dan berguguran perlahan hingga menyisakan ranting-ranting kering di Bulan November. Lampu-lampu hiasan natal mulai dipasang saat udara mulai menyayat kulit hingga salju terus berhamburan dari langit bagai pohon randu yang tertiup angin sore hari. Orang-orang di sini menyiapkan setiap pergantian musim dengan baik. Aku telah melewati dan menikmati setiap pergantiannya. Tanpa kalian tentu saja.

Saat surat ini aku tulis, di sini sedang turun salju sangat lebat terus mengetuk jendela kamarku seakan ingin bertamu. Aku baru saja merayakan Idul Fitriku Bersama orang-orang muslim dari penjuru Indonesia bahkan dunia. Kami memasak dan membuat makanan yang biasa disajikan saat hari raya di daerah masing-masing. Orang Padang membawa rendang yang mereka masak selama dua hari, Orang Sunda dan Jawa membawa opor ayam dan lontong--Aku juga membuat lontong sendiri dari plastik. Beberapa orang India dan Pakistan membawa roti nan dan kari kambing. Orang Uzbekistan dan beberapa orang dari Timur Tengah membawa nasi kebuli dan beberapa pelengkapnya. Kami merayakan hari raya dengan khikmad. Seorang yang lebih muda meminta maaf kepada yang lebih tua, akan selalu begitu tradisinya bukan? Kami saling memeluk tanpa banyak kata seakan saling menguatkan. Kami saling mengerti bagaimana rasanya Hari Raya tanpa orang-orang terkasih. Tapi aku tidak sedih sama sekali. Aku hanya terus merindukan kalian. Kadang, rindu menciptakaan air mata sendiri sebagai bentuk penawar. Meski sama sekali tak bisa benar-benar menawarnya.

Saat ini, di jalanan kota sangat ramai meski salju menutupi hampir seluruh wilayah Kyoto yang sebelumnya didominasi warna merah. Lampu-lampu dipasang memenuhi pepohonan atau sengaja dirangkai membentuk sebuah karakter hewan atau tokoh kartun. Iluminasi namanya. Orang-orang Jepang juga merayakan natal meski mereka bukan beragama Kristen, katanya natal telah menjadi sebuah kebudayaan.

Aku tak ingin surat ini menjadi basah karena air mata lalu ibu memergokinya dari bekas tetesan air mata yang mengering. Kuucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri untuk kalian. Maafkanlah segala kesalahanku yang lalu, yang kini dan yang nanti. Semoga kalian semua sehat dan bahagia selalu. Semoga saat bertemu lagi kelak, saat aku pulang, adalah saat paling membahagiaan dan penuh suka cita dalam hidupku. Aku mencintai kalian. Anggap saja aku yang paling mencintai kalian karena aku seorang diri sekarang. Aku tak ingin dibandingkan karena aku yang paling tersiksa karena rindu saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun