Apa yang ada di masa depan atau hari esok? Ya keabsurdan, mungkin juga kematian yang tidak pernah dapat diterka.
Oleh sebab itu kita harus berani menolak Leap of Faith. Singkatnya Leap of Faith adalah sama dengan bunuh diri secara filosofi (berpegang pada Agama, Sains, Ideologi dan lain sebagainya), juga bunuh diri ragawi (termasuk Euthanasia). Bukan berlagak sok paling kuat, namun sekali lagi, Leap Of Faith sepertinya bukan solusi yang tepat.
Alangkah lebih baik bila kita melakukan Insureksi atau Revolt, alias melakukan pemberontakan atas hidup yang tidak pernah jelas. Menjerang kehidupan yang ganjil dengan genap. Mempecundangi kemapanan dengan penerimaan kesuraman. Tidak berguna, tidak masalah, yang paling penting kita tetap menghidupinya.
Secara tidak langsung, Camus menginginkan kita menjaga gelora Carpe Diem agar tetap menyala. Dan Carpe Diem adalah perihal menghidupi hari ini, dengan berani tanpa perlu takut. Takut pada hari esok yang mungkin mengandung dan mengundang kematian.
Jadi, apakah kita sebaiknya berharap? Mungkin tidak.
"Harapan, bagi seorang absurdis (orang yang berani menghadapi absurditas) adalah metode pengecut untuk lari dari absurditas." -Albert Camus
Keabsurdan yang Tulus
Camus adalah seorang pemberontak, ia dengan berani menghidupi hidup yang absurd dengan tulus. Ia tidak bunuh diri, secara ragawi ataupun filosofis. Ia mungkin memang absurd, hidup secara absurd dan mati secara absurd.
Apakah akhir hidupnya kurang absurd? Tentu tidak. Ia bahkan mati dalam kecelakaan mobil, tepatnya menabrak pohon. Jauh sebelum itu, absurdnya, Camus pernah mengatakan bahwa cara paling absurd untuk mati adalah tewas dalam kecelakaan mobil.
Camus berputih tulang tiga tahun setelah menerima salah satu penghargaan paling bergengsi dalam dunia manusia, yaitu Nobel Kesusastraan. Namun Camus tidak berhenti  sampai di situ, ia akan abadi selamanya. Oleh sebab ia adalah kunci dari keabsurdan dunia. Selama dunia ini absurd, Camus akan tetap hidup. Ia akan tetap hidup dalam hati, kita yang kebingungan di dalam labirin dunia.
Camus dan Sisifus adalah satu kesatuan. Mereka berdua mengajarkan bahwa absurditas kehidupan yang dialami hampir setiap saat, tidak seharusnya membuat kita tidak bahagia. Bahkan Sisifus yang dikutuk pun masih dapat bahagia, meskipun dengan hukuman absurd yang membuat hidupnya tidak lagi memiliki makna.