Mohon tunggu...
Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Redaktur Omong-Omong Media

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Si Protagonis Gerrard: Kapten Sejati, Tragedi Pilu, dan Cinta yang Abadi

27 Januari 2021   07:56 Diperbarui: 27 Januari 2021   08:14 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku adalah satu, dari sekian banyak fans Liverpool FC atau biasa disebut "Kopites". Sebagai pendukung Merseyside Merah, aku begitu mengidolakan sosok Steven Gerrard.

Nama yang sepertinya sudah sangat familier di telinga Kopites, juga supporter klub lain dan penikmat sepak bola Inggris.

Kapten Sejati

Pada faktanya, Gerrard memanglah wajah dari Si Merah sekaligus legenda Liga Inggris. Sisanya, biarkan tendangan roketnya yang berbicara. Di sisi lain, karena Stevie G (sapaan akrab Gerrard) pula, saya memutuskan untuk mendukung klub sepakbola berlogo "Liver Bird" ini. Klub yang berasal dari County Merseyside, tepatnya kota Liverpool yang telah menggunakan burung Liver sebagai simbol kotanya selama lebih dari 800 tahun.

Kembali pada Stevie G, ia setidaknya memiliki 2 julukan yaitu "Captain Fantastic" dan "The Skipper", atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa kita menjadi Kapten Fastastis dan Sang Nahkoda. Tak berlebihan memang, sebab tak kurang dari 12 tahun Stevie mengenakan ban kapten di lengan kanannya. Selama itu pula ia menjadi figur sentral dari Liverpool kala menjalani Derbi North West kontra The Red Devils (Manchester United) dan Derbi Merseyside melawan The Toffees (Everton).

Secara kesejarahan, ia mulai mengenakan ban kapten sejak 2003, di umurnya yang masih 23 tahun. Umur yang masih belia untuk dipercayakan sebagai kapten, dari klub sepak bola tersukses di Britania Raya dan salah satu klub tersukses di Benua Biru (Eropa) dengan raihan 6 trofi Si Kuping Besar (Liga Champions). Di bawah ban kaptennya (Gerrard), Liverpool memenangkan Liga Champions, Piala FA, Piala Liga dan finis sebagai runner-up di Liga Premier. 

Lebih lanjut, Gerrard sangat berpengaruh di hampir setiap laga yang dimenangkan Liverpool, selama ia menjadi bagian dari tim. Secara statistik, ia telah berseragam Liverpool selama 17 tahun, mencatatkan lebih dari 700 penampilan dan mencetak lebih dari 150 gol selama karirnya di klub. 

Sungguh angka yang fantastis, bukan? Ditambah fakta, bahwa Gerrard adalah pribumi asli yang memang lahir di Merseyside. Maka tidaklah heran, bila Gerrard menjelma sebagai ikon sepak bola terbesar Liverpool, bahkan Inggris dan ada di hati hampir setiap fansnya.

Tragedi Pilu

Namun bukanlah Gerrard, bila tak tragis.

Tragedi demi tragedi kemudian menimpa Gerrard, sebelum menemui titik kariernya. Khususnya publik Inggris, yang masih ingat bagaimana insiden "Kulit Pisang" (momen terpelesetnya Gerrard) sebagai sebuah titik kehancuran yang menegaskan betapa malang sisa-sisa keringatnya, di kancah lapangan hijau beserta si kulit bundar (sepak bola).

"Saya sudah bertahun-tahun tidak menangis, tetapi ketika itu, saya tidak bisa menahannya. Air mata terus saja mengalir. Saya bahkan tidak bisa mengatakan apakah kondisi jalanan sedang macet atau lengang, padahal saya berada di dalam mobil. Momen tersebut benar-benar menghantui saya," demikian penuturan Gerrard dalam autobiografinya yang dikutip Daily Mail.

Bahkan, di detik-detik perjalananya Gerrard justru mendapat pil yang sangat pahit. Bagaimana tidak? Pertandingan perpisahan di Rumahnya (Anfield) berakhir dengan kekalahan 1-3 dari Crystal Palace, dan kekalahan pamungkas musim 2014/2015 sebesar 6-1 di hadapan Stoke City.  Begitulah, akhir kisah kasih dari Sang Pangeran Anfield bersama The Reds.

Cinta yang Abadi

Namun, sungguh jika ada seseorang yang bertanya "Siapa pemain sepak bola yang paling memberi makna tersendiri?" Maka dengan tegas saya akan menjawab, "Steven Gerrard".

Mengapa? Karena Gerrard, menurut saya adalah pemimpin dalam dan luar lapangan. Ia orang yang memiliki karakter kuat, karismatik, rendah hati, murah senyum, pantang menyerah, penuh loyalitas, tidak banyak bergaya dan tentu saja saya juga menyukainya karena selebrasi ikoniknya, kala ia mencium lensa kamera selepas mencetak gol indah.

Entahlah, pemain yang juga lahir dan tumbuh di kota Liverpool itu mungkin sudah memenangkan hati saya, juga para Kopites dan Liverpudlian (orang asli Liverpool). Gelandang karismatik kelahiran 30 Mei 1980, setinggi 6 kaki (sekitar 183 sentimeter) itu selalu abadi dalam hati, juga dalam ingatan mereka yang menyukai jendral lapangan tengah dengan tendangan mematikan.

Sejatinya, Gerrard adalah salah satu simbol dari pemain sepak bola yang bermain menggunakan hati. Sebab, dewasa ini, di zaman ini, di mana industri sepak bola berkembang sedemikian cepatnya, kita akan lebih mudah menemukan pemain yang "Money Oriented", atau dalam bahasa kita berarti "Mata Duitan". Mereka banyak sekali jumlahnya seperti halnya "Glory Hunter", atau bila diterjemahkan secara kasar bermakna "Pemburu Kejayaan".

Pemain-pemain seperti Gerrard adalah bukti nyata bahwa sepak bola tidak sekadar sepak bola. Gerrard adalah satu dari sekian banyak sosok pemain yang paling pantas mendapatkan bentuk nyata dari "You'll Never Walk Alone". Ia adalah satu, dari sekian banyak pesepak bola yang berhasil membuat penikmat si kulit bundar berkaca-kaca. Hingga mereka, khususnya para pria, tak sadar bahwa telah melampaui omong kosong maskulinitas dengan tangisan.

Satu yang tersisa dari sisa-sisa kenangan akan Gerrard, tinggal nostalgia. Namun, percayalah, sosoknya akan selalu hidup, takkan habis dimakan ingatan dan waktu.
Sosok yang mungkin akan kita ceritakan pada hari esok, esok dan esok.

Sekali lagi, Gerrard dan Liverpool adalah kisah roman dalam karya sastra, layaknya Romeo dan Juliet. Seperti romantisme asap tembakau, yang akan terus mengawini cangkir demi cangkir kopi. Tetapi waktu, akan mengepak ranselnya untuk menuju masa depan. Masa di mana orang-orang akan menceritakan sebuah masa, bahwa pernah ada seorang pesepak bola yang memberi makna tersendiri.

Terakhir, setelah malam jatuh memeluk sunyi dan dingin bergandeng sepi, biarkan jejak itu tetap ada dalam trotoar-trotoar kota pelabuhan bernama Liverpool itu. Biarkan ingatan-ingatan itu tetap hidup di sana, meski terinjak debu dan tersapu waktu. Gerrard mungkin telah angkat kaki, namun tidak dengan jejaknya.

Seperti kata penyair Hujan Di Bulan Juni, "Yang fana adalah waktu". Dan seperti kata penyair Hujan Di Kota Hujan, "Gerrard akan tetap abadi".

"When you walk through a storm
Hold your head up high
And don't be afraid of the dark
At the end of a storm
There's a golden sky
And the sweet silver song of a lark
Walk on through the wind
Walk on through the rain
Though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on
With hope in your heart
And you'll never walk alone
You'll never walk alone
Walk on, walk on
With hope in your heart
And you'll never walk alone
You'll never walk alone."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun