Mohon tunggu...
Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Redaktur Omong-Omong Media

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Liverpool: Cinta, Kesetiaan, dan Perlawanan

5 Januari 2021   16:24 Diperbarui: 5 Januari 2021   16:43 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The iconic Kop banner serves as a powerful reminder of the city's proud socialist heritage. photo: Wikimedia Commons

Bersabar, bersabar dan bersabar. Hanya itu yang dapat dilakukan supporter sepakbola dari klub bernama "Liverpool Football Club".

Para fans, yang sering disebut Kopites (baca: kopayts) mungkin sekali lagi harus bersabar. Terlebih, dari 3 pertandingan sebelumnya, The Reds hanya mampu mengantongi 2 poin saja dari laga yang telah dijalani dan terakhir bahkan harus menelan pil pahit setelah kalah dari The Saints (Southampthon F.C.), apalagi gol-nya dicetak oleh "Sang Mantan" yaitu Danny Ings.

Secara objektif, kita tentu tidak dapat menyalahkan sepenuhnya pada Jurgen Klopp, meskipun kekalahan The Reds karena ketiadaan "bek tengah" yang murni.  Namun pada pertandingan itu, khususnya dalam susunan pemain, Klopp lebih memilih untuk memasang The Skipper (Henderson) sebagai duet dari Fabinho, yang menjadi "blunder besar" dari sektor pertahanan LFC. Meskipun dalam bangku cadangan, ada dua bek tengah muda mereka yaitu Rhys Williams dan Nathaniel Phillips. 

Pada kenyatannya, LFC memang sedang dilanda "badai cedera" khususnya dari sektor pertahanan. Absennya Big Virg (Virgil van Dijk), Joel Matip, dan Joe Gomez pasti membuat Klopp pusing bukan main. Namun terlepas dari itu semua, kita harus berpikir positif dan sepenuhnya mempercayakan nasib pada manajemen klub yang lebih paham betul apa yang harus diperbaiki.

Menjadi fans "Si Merah" memang tak pernah mudah, selain sering mendapatkan sindiran bahkan cacian seperti "Liverpudelian" atau satire YNWA (You'll Never Win Again), dan lain sebagainya. Saya juga sering kehabisan uang jajan, khususnya ketika masih bersekolah dan sering kalah taruhan. 

Dan tentu saja, jika LFC kalah saya tak hanya kehabisan uang, karena saya pun harus menanggung malu dan amarah apalagi jika kalah oleh keputusan-keputusan wasit yang sangat merugikan tim kesayangan saya.

Sejatinya, saya mulai jatuh hati dengan klub "Merseyside Merah" ini ketika final Liga Champions 2005 melawan klub legendaris A.C. Milan. Hal yang membuat saya terharu dan jatuh hati adalah perihal "kesetiaan" pemain ke-12 (Kopites). Bersama komitmen dan rasa percaya, mereka tetap menyanyikan lagu kebesaran mereka yaitu "You'll Never Walk Alone" dengan begitu emosional. Meskipun sebelum turun minum babak pertama, Liverpool sudah dihajar 3-0 oleh para punggawa AC Milan. 

Dan terbukti, bahwa cinta dan usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Dengan "ajaib" pasukan Si Merah mampu membalas ketertinggalan menjadi 3-3, memaksa pertandingan untuk dilanjutkan ke adu penalti dan Liverpool memenangkan adu penalti tersebut. Dari situlah, timbul istilah "Miracle of Istanbul".

Selepas pertandingan itu, saya yang masih sangat belia (berumur 5 tahun) menasbihkan diri sebagai Kopites dan memilih Liverpool sebagai klub yang akan saya dukung selamanya. Perjalanan saya menjadi fans Liverpool tentu tidaklah mudah, apalagi ketika Si Merah kalah yang menyebabkan pesan singkat tak henti-hentinya masuk ke ponsel saya. 

Ada yang hanya mengirim pesan berupa tawa, ada pula yang mengolok-olok, dan bahkan ada juga yang jelas-jelas mengatakan bahwa saya sangat bodoh karena telah menjadi "Kopites". Namun saya  tak peduli, tak pernah peduli sedikit pun. Saya selalu setia untuk mendukung klub pujaan saya, sekaligus membungkam orang-orang bermulut besar yang sering mencemooh saya. 

Kesabaran saya pun membuahkan hasil,
Liverpool berhasil meraih gelar juara Liga Champions 2018-2019, meskipun sempat terhempas selisih gol 0-3 oleh FC Barcelona pada babak semifinal yang dibayar 4-0 di stadion kebanggaan yaitu, "Anfield". Tahun setelahnya pun, Liverpool resmi mengangkat trofi juara Liga Inggris musim 2019-2020, dan sisanya adalah "sejarah" yang tercatat dalam tinta emas.

Sejujurnya, selain karena prestasi di dalam lapangan, saya juga mencintainya karena Liverpool adalah kota indah yang menyimpan sejarah, budaya, dan musik yang melegenda. Tempat lahirnya grup musik favorit saya, yaitu The Beatles dan musisi idola saya, yaitu John Lennon yang melahirkan Kultur Hippie di Amerika Serikat sekitar tahun pertengahan 1960-an.

Di sisi lain, saya juga menyukai keberanian dan api perlawanan dari para Liverpudlian (sebutan penduduk asli kota Liverpool), yang pernah menyoraki lagu kebangsaan Inggris, "God Save The Queen" dan melakukannya tepat di depan Pangeran William, putra mahkota Kerajaan Inggris Raya, yang hadir dalam pertandingan itu.  

Saya secara pribadi, memang lekat dengan Sosialisme, menolak "Aristokrasi" dan "sedikit" memiliki masalah dengan "Kapitalisme". Karena saya, memang dibesarkan oleh kedua orang tua yang berprofesi sebagai buruh. Dan atas alasan ideologis tersebut, saya semakin mencintai Liverpool, karena Liverpool adalah kota yang parlemennya dikuasai oleh Partai Buruh bahkan sejak 2010. 

Berbagai bahasa, suku, dan kebudayaan dari beragam belahan negara pun campur aduk di kota Liverpool. Dan pada kenyataannya, Liverpool adalah "anomali" dari kota-kota di Inggris kebanyakan. Khususnya, karena Liverpool tidak pernah mau untuk tunduk, terhadap rezim bangsawan. Mereka memilih untuk terus melawan dan melawan.

Mungkin dari sana pula, Liverpool menjadi seperti "dikucilkan" di Inggris. Mereka dianggap "pengacau" oleh pemerintah dan warga dari kota-kota Inggris lainnya. Secara sosio-historis pun, mereka sering mendapat perlakuan tak adil dari pemerintah, hingga dianggap kabar buruk bahkan musuh besar orang-orang konservatif di Inggris. Kerusuhan bernuansa rasial "Toxteth" di Liverpool pada 1981, Tradegi Heysel pada 1985 hingga Tragedi Hillsborough pada 1989, agaknya menjadi bukti sejarah dari Liverpool yang di anak tirikan oleh pemerintah inggris Inggris.

Namun, Liverpool adalah Liverpool. Saya telah memilih, sampai kapanpun saya akan tetap menjadi Kopites dan akan tetap mencintai Liverpool. Tak peduli siapapun pemain atau pelatihnya, bagaimanapun keadaannya, juara atau degradasi sekali pun. Lagipula, kalah dan menang adalah kepastian dalam pertandingan. Lagipula, mendukung bukanlah perihal merayakan saat menang, tapi hadir dan tak membiarkan yang kita dukung berjalan sendirian ketika kekalahan menerpa.

Terakhir, dewasa ini, saya sudah dewasa, dan saya telah mencintai Liverpool tanpa alasan. Dan, setelah pandemi ini selesai. Nanti kita cerita Liverpool juara lagi, YNWA!

"We've conquered all of Europe
We're never gonna stop
From Paris down to Turkey
We've won the fucking lot... 

Bob Paisley and Bill Shankly
The Fields of Anfield Road
We are loyal supporters
And we come from Liverpool
 

Allez Allez Allez...
Allez Allez Allez...

Allez Allez Allez...
Allez Allez Allez..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun