Mohon tunggu...
Moch Arif Budiman
Moch Arif Budiman Mohon Tunggu... -

Melanjutkan studi di International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menimbang Partai Pilihan pada Pemilu 2014

8 April 2014   23:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya dalam hitungan beberapa jam lagi, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar lima tahunan pada 9 April 2014, besok. Pemilu 2014 adalah pemilu keempat di era Reformasi.
Berbeda dengan era Orde Baru yang hanya diikuti oleh tiga kontestan, pemilu pada era Reformasi diikuti oleh puluhan partai politik. Pemilu 1999 diikuti 48 parpol, Pemilu 2004 diikuti 24 parpol, Pemilu 2009 diikuti 38 parpol, dan Pemilu 2014 akan diikuti oleh 12 parpol. Kebebasan berpolitik yang terbuka di era Reformasi telah memungkinkan lahirnya puluhan parpol baru di tanah air dengan beragam latar belakang ideologinya masing-masing.

Di dalam sistem multipartai ini, tidak ada parpol yang menjadi mayoritas mutlak dengan perolehan suara di atas 50% seperti yang selalu diraih Golkar di zaman Orde Baru. Sistem multipartai saat ini membuat jumlah suara terdistribusi sedemikian rupa ke banyak parpol. Dari pengalaman tiga kali pemilu di era Reformasi, perolehan suara parpol pemenang pemilu bahkan tidak ada yang melebihi 35% dan parpolnya pun berganti-ganti. Ini menunjukkan tidak adanya kekuatan dominan dalam perpolitikan kita, kendati setiap parpol memiliki basis massa tradisionalnya masing-masing.

1396948010210878431
1396948010210878431
Pada 1999, PDIP selaku pemenang meraih 33,74% suara (153 kursi). Selanjutnya, pada 2004, Golkar tampil sebagai pemenang dengan raihan 21,58% suara (128 kursi). Terakhir pada 2009, Demokrat muncul menjadi pemenang baru dengan perolehan 20,85% suara (150 kursi). Hasil di atas menunjukkan perolehan suara parpol pemenang pertama pemilu cenderung terus menurun atau mengecil dari waktu ke waktu dari 33,74% (1999), 21,58% (2004) menjadi 20,85% (2009). Akankah Pemilu 2014 menghasilkan parpol pemenang dengan capaian suara yang semakin menurun lagi ataukah justru akan ada sebuah kejutan? Tentu para pemilih lah nanti yang akan menjadi penentunya.

Pemilu sebagai mekanisme evaluasi

Dalam tradisi demokrasi, pemilu sejatinya merupakan ajang untuk ‘mengadili’ dan ‘mengapresiasi’ parpol. Parpol yang terbukti atau dianggap gagal dan tidak kompeten dalam mengemban kepercayaan rakyat yang telah diberikan pada pemilu sebelumnya akan mendapatkan ‘hukuman’ berupa berkurangnya raihan suaranya. Sebaliknya, parpol yang dianggap berhasil atau cukup kompeten dalam mengemban amanah rakyat cenderung mendapatkan peningkatan suara.


13969481931594763275
13969481931594763275

Tabel 1. Perolehan suara parpol peserta Pemilu 1999, 2004 dan 2009

Berkaca pada tiga kali pemilu di Orde Reformasi, persentase suara 5 parpol yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan PAN cenderung mengalami penurunan secara sistematis. Suara PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999 yang semula mencapai 33,74% justru terjun bebas menjadi 18,53% pada 2004 dan terus menurun ke angka 14,03% pada 2009.  Demikian pula dengan suara parpol-parpol Islam seperti PKB yang semula 12,61%, turun ke angka 10,97% dan terakhir hanya 4,94%.

Hanya 2 parpol, yaitu PKS dan Demokrat yang secara konsisten mengalami kenaikan dalam 2 pemilu terakhir. Kepercayaan dan harapan rakyat terhadap kedua parpol ini terlihat terus membesar. Namun, banyaknya kasus korupsi yang mendera kader-kader Demokrat belakangan ini diperkirakan bakal menggerus suara parpol besutan SBY tersebut. Lebih-lebih lagi, pemerintahan SBY yang pada awalnya mendapat kepercayaan sangat besar ternyata menunjukkan kinerja yang semakin tidak memuaskan hingga saat ini. Di sisi lain, PKS tampak sebagai parpol yang memiliki integritas dan kinerja yang semakin positif dari waktu ke waktu.

Golput dan Money Politics

Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih pada Pemilu 2014 adalah 186.569.233 orang. Di tangan merekalah pemenang pemilu akan ditentukan. Para pemilih adalah pemilik kedaulatan negeri ini, sementara parpol hanyalah sekadar penyalur aspirasi mereka.

Para pemilih perlu menyadari bahwa suara mereka sangat berarti dalam menentukan masa depan Indonesia lima tahun yang akan datang. Suara tersebut jangan sampai disia-siakan dengan menjadi golput dan jangan sampai tergadaikan lantaran pemberian uang atau barang dari caleg atau parpol tertentu.

Pemilih perlu menyadari bahwa pemberian uang atau barang untuk mempengaruhi pilihan adalah bentuk money politics yang dilarang. Dapat dipastikan, caleg yang melakukannya akan berusaha mengembalikan ‘modal’ yang telah dikeluarkannya tersebut dengan berbagai cara ketika nantinya duduk menjadi anggota dewan. Ini adalah kolusi politik tingkat awal yang terbukti telah menjerumuskan banyak anggota dewan kepada praktik korupsi dan manipulasi setelah menjabat. Dengan menerima pemberian tersebut, apalagi secara pro-aktif mengusahakannya, maka pemilih secara tidak langsung telah membukakan pintu korupsi dan manipulasi yang sebenarnya akan sangat merugikan kepentingan jangka panjang mereka sendiri.

Di samping itu, pemilih juga perlu cerdas memilah atau memfilter opini menyesatkan (black campaign) untuk merusak reputasi caleg atau parpol tertentu yang semakin gencar akhir-akhir ini.

Kriteria parpol pilihan

Sebagai pemilik kedaulatan negeri ini, para pemilih tentunya harus memanfaatkan kesempatan Pemilu 2014 dengan sebaik-baiknya agar menghasilkan anggota legislatif yang sungguh-sungguh berjuang demi kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompoknya sendiri, apalagi kepentingan pihak asing. Para pemilih harus kritis dan independen (tidak tergantung) dalam menentukan pilihannya dan mampu membedakan antara janji dan bukti.
Kriteria pemilihan parpol tentu bukanlah janji karena janji itu berada di domain masa depan dan belum pasti akan dilaksanakan. Semua orang bisa berjanji, tetapi belum tentu bisa menepatinya. Banyak parpol yang ketika kampanye berjanji memperjuangkan kepentingan rakyat kecil, namun setelah berkuasa justru mengeruk kekayaan demi kepentingan kelompoknya dan lebih melayani kepentingan asing. Kriteria utama memilih parpol hendaknya adalah bukti dan aksi yang secara nyata telah mereka lakukan baik di parlemen, pemerintahan, maupun di tengah-tengah masyarakat.

Di antara kriteria tersebut adalah kinerja aleg, kinerja wakil parpol di pemerintahan, tingkat korupsi, dan kehadiran parpol di ruang publik. Dalam perspektif kepentingan rakyat ke depan, sudah saatnya pemilih tidak lagi memberikan mandatnya kepada parpol yang kadernya banyak terlibat korupsi, kongkalingkong anggaran, sering absen di persidangan atau tidak pernah terdengar kiprahnya memperjuangkan aspirasi rakyat.

Pemilih perlu mempertimbangkan parpol yang memang telah bekerja demi kepentingan rakyat dan menunjukkan kepedulian untuk membantu menyelesaikan kesulitan mereka, bukan saja tatkala pemilu datang, tetapi di sepanjang waktu. Berbasis pada track record bukti nyata kiprah parpol inilah, maka kita akan pergi ke bilik suara di Pemilu 2014 besok. Selamat memilih dan jangan sampai salah coblos!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun