Oleh: Moch. Aly Taufiq, (Dosen MSDM Politeknik Ketenagakerjaan/Kandidat Doktor Ilmu Manajemen UNJ)
Penguatan daya saing bangsa telah menjadi fokus utama pemerintah saat ini. Pemerintah memandang daya saing bangsa memiliki urgensi yang tinggi sebagai sesuatu yang berkorelasi positif dan berdampak langsung terhadap upaya perluasan pengaruh dan pemantapan posisi Indonesia di kancah internasional.
Daya saing bangsa merupakan sebuah tolok ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan nasional yang dilakukan, baik secara fisik maupun non-fisik. Daya saing bangsa juga merupakan parameter utama dalam menilai seberapa kreatif dan inovatif suatu negara dalam memenuhi kebutuhannya di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya kebutuhan di bidang pembangunan ekonomi secara berkelanjutan (sustainable economic development).
Pembahasan mengenai daya saing bangsa tidak dapat dipisahkan dari wacana mengenai pembangunan dan pengembangan teknologi. Teknologi memainkan peran yang sangat vital sebagai katalisator dalam mengolah sumber kekayaan alam yang dimiliki agar bermanfaat positif terhadap pembangunan nasional.
Dengan penggunaan teknologi, sumber daya alam yang dimiliki tidak hanya dapat dinikmati dalam betuk raw material saja, tapi juga dapat diberikan added value sehingga memiliki daya jual yang lebih tinggi dan menjadi komoditas perdagangan internasional.
Namun demikian, yang paling penting dari itu semua, teknologi merupakan modalitas utama dalam pembangunan manusia Indonesia untuk menghadapi dinamika global yang penuh tantangan saat ini.
Permasalahan saat ini
Pandemi COVID-19 yang menghantam Indonesia sejak awal Maret yang lalu menjadi titik tolak dan pemicu utama kesadaran para pemangku kepentingan di negeri ini untuk melakukan pengembangan teknologi secara lebih mendalam.
Pandemi COVID-19 menghantam hampir seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk sektor pendidikan yang memainkan peran penting dalam produksi ilmu dan pengetahuan manusia Indonesia. Bahaya terhadap kesehatan yang ditimbulkan COVID-19 membuat proses belajar mengajar di sekolah dan perguruan tinggi tidak bisa diselenggarakan secara tatap muka atau langsung.
Hal ini menimbulkan persoalan lanjutan, yakni bagaimana pendidikan tersebut bisa terselenggara dengan baik tanpa hambatan jarak dan kendala lainnya.
Merespons permasalahan ini, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi pilihan solusi. Berbagai pranata pendidikan memanfaatkan berbagai aplikasi penunjang seperti aplikasi zoom meeting, google meet, dan fitur-fitur berbasis teknologi lainnya. Sebagai konsekuensinya, pelaksanaan pendidikan selama setengah tahun terakhir ini sangat kental dengan pendidikan berbasis teknologi.
Pada dasarnya realitas ini merupakan sesuatu yang positif karena menjadi pendorong bagi tenaga pendidik dan pelajar untuk mau tak mau menguasai teknologi yang terkandung dalam perangkat elektronik yang digunakan tersebut.
Namun demikian, situasi ini juga membuka kotak pandora, betapa penguasaan teknologi di negeri ini masih sangat rendah, khususnya yang terkait dengan pengembangan sumber daya manusia.
Betapa tidak, pengunaan aplikasi-aplikasi buatan negara lain tersebut menunjukkan Indonesia tidak cukup siap dalam merespons krisis yang sifatnya mendadak. Indonesia hanya menjadi konsumen dan negara yang sangat tergantung sebagai konsekuensi ketidaksiapan tersebut.
Merujuk pada data yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing global Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2019 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Peringkat Indonesia turun dari posisi ke-45 menjadi posisi ke-50 di tahun 2019, atau turun lima peringkat. Apabila menilik pencapaian negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Thailand, dan Malayasia, posisi Indonesia jauh lebih rendah. Indonesia hanya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, dan Laos.
Hal ini tentu saja bukanlah kabar yang menggembirakan. Berbagai aktivitas antarnegara seperti perdagangan internasional, investasi, hingga kerja sama bilateral dan multilateral di berbagai bidang sangat ditentukan oleh Indeks Persaingan Global yang dirilis tersebut.
Hal ini dikarenakan indeks tersebut juga berlaku sebagai refleksi atas berbagai persoalan lainnya seperti penegakan hukum, termasuk juga kesiapan sumber daya manusia yang dimiliki.
Ada fakta empirik yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita bersama bahwa kapasitas penguasaan teknologi berkaitan erat dengan lapangan pekerjaan yang dimiliki. Mengacu pada data yang dirilis oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), lebih dari 70 persen PMI yang bekerja di luar negeri bekerja di sektor informal, seperti asisten rumah tangga, buruh pabrik dan perkebunan, serta kuli bangunan.
Hal ini disebabkan karena kualifikasi pendidikan mereka yang rendah, yakni lebih dari 98 persen pekerja migran tersebut hanya menamatkan pendidikan pada jenjang menengah atas ke bawah. Kompetensi yang rendah ini membawa pada dampak derivatif lainnya seperti kinerja yang kurang optimal, efektif, dan efisien, hingga menjadi objek tindak kekerasan dan subjek pelanggaran hukum di negara lain.Â
akta ini berbanding terbalik dengan kualifikasi pekerja migran dari Tiongkok dan India yang sudah cukup banyak berkecimpung di bidang yang memberikan penghasilan tinggi. Yang menjadi poin pembeda tentu saja kecakapan para ekspatriat kedua negara tersebut di bidang penguasaan teknologi.
Solusi jangka panjang
Untuk merumuskan solusi secara komprehensif agar penguasaan teknologi semakin meningkat dan membawa manfaat bagi pembangunan sumber daya manusia, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah pemetaan permasalahan yang ada. Sedikitnya ada beberapa permasalahan krusial yang penulis cermati.
Pertama, kurikulum pendidikan yang dijalankan masih sangat konvensional. Sebagian besar pranata pendidikan di jenjang pendidikan menengah ke dasar belum mengadopsi skema pendidikan berbasis science, technology, engineering, art, and math (disingkat STEAM) yang banyak diterapkan di sekolah-sekolah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Hal ini bukan berarti kita hendak menjadikan kedua lokus tersebut sebagai kiblat pendidikan. Namun kualitas sumber daya manusia di kedua wilayah tersebut menjadi bukti sahih efektivitas dan efisiensi STEAM dalam memproduksi sumber daya manusia yang handal.
STEAM sendiri menyajikan pola belajar yang unik dengan menggabungkan antara teknologi, teknik, seni, dan matematika dalam suatu studi ilmiah yang merancang kreativitas dan kritisisme peserta didik untuk berfikir dan memecahkan masalah.
Kedua, tidak dimungkiri bahwa para peneliti dan tenaga pendidik di perguruan tinggi masih sering mengeluhkan minimnya dana penelitian yang mereka miliki. Meskipun alokasi dana pendidikan bersifat fixed budget dan tergolong besar, yakni 20 persen dari APBN, akan tetapi alokasi masih lebih besar untuk hal-hal yang sifatnya operasional dan belanja pegawai.Â
leh sebab itu, produksi riset berbasis teknologipun menjadi minim kuantitasnya. Hal ini diperburuk oleh partisipasi swasta yang sangat minim dalam menopang riset-riset berbasis teknologi di perguruan tinggi, yakni hanya 10 persen saja, sisanya ditanggung penuh oleh pemerintah.Â
Habituasi yang dimiliki oleh sektor swasta di Indonesia adalah "menunggu di hilir". Mereka enggan menanam modal di sektor hulu dengan berinvestasi dalam penyelenggaraan riset-riset berbasis teknologi. Jikapun itu dilakukan, semuanya masih dilakukan dalam kerangka Corporate Social Responsibility (CSR) yang sifatnya basa-basi dan seremonial saja.
Pihak swasta di Indonesia belum sepenuhnya menyadari bahwa ada tingkat pengembalian (return rate) sebesar plus minus 20 persen dari investasi yang mereka lakukan dalam bentuk tenaga kerja yang siap pakai nantinya.
Merujuk pada berbagai kendala tersebut, sudah barang tentu strategi penanganan ke depan adalah dengan mengatasi kendala-kendala tersebut. Dalam RPJPN 2005-2024, pemerintah sudah menggariskan strategi pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja sektor ilmu pengetahuan adalah sektor sosial yang sangat dinamis.
Perubahan begitu cepat terjadi di era disrupsi saat ini. Selain implemenmtasi yang persisten terhadap RPJPN yang sudah ditetapkan, langkah-langkah inovatif juga mutlak dilakukan. Indonesia sudah saatnya mengadopsi kurikulum berbasis STEAM di semua jenjang pendidikan.Â
Pemerintah juga dituntut untuk meningkatkan besaran dana riset agar para peneliti dan pendidik terpacu untuk melakukan riset-riset skala besar yang berbasis teknologi. Pemerintah juga wajib mendorong sektor swasta agar proaktif berkontribusi melalui kebijakan yang sifatnya regulatif dan mengikat.
Indonesia sudah memasuki periode bonus demografi dalam kurun 2020 hingga 2035 mendatang. Indonesia juga akan memegang tampuk penting sebagai pemimpin di berbagai komunitas internasional seperti Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Group of Twenty (G-20), dan Organisasi Maritim Internasional (IMO).
Jangan sampai kualitas sumber daya manusia yang rendah menjadi kartu mati sehingga semua peluang di depan mata tidak dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pencapaian kepentingan nasional. Penguasaan teknologi menjadi kata kunci dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter pemenang.
Sumber daya manusia yang baik adalah modalitas utama untuk mewujudkan sebuah bangsa yang berdaya saing dan mampu berkompetisi di kancah internasional. Indonesia bisa mewujudkannya apabila konsisten dan persisten dalam mengeksekusi solusi-solusi berbasis kendala yang ditawarkan.
Tulisan Ini dimuat di www.monitor.co.id 27 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H