Pada dasarnya realitas ini merupakan sesuatu yang positif karena menjadi pendorong bagi tenaga pendidik dan pelajar untuk mau tak mau menguasai teknologi yang terkandung dalam perangkat elektronik yang digunakan tersebut.
Namun demikian, situasi ini juga membuka kotak pandora, betapa penguasaan teknologi di negeri ini masih sangat rendah, khususnya yang terkait dengan pengembangan sumber daya manusia.
Betapa tidak, pengunaan aplikasi-aplikasi buatan negara lain tersebut menunjukkan Indonesia tidak cukup siap dalam merespons krisis yang sifatnya mendadak. Indonesia hanya menjadi konsumen dan negara yang sangat tergantung sebagai konsekuensi ketidaksiapan tersebut.
Merujuk pada data yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing global Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2019 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Peringkat Indonesia turun dari posisi ke-45 menjadi posisi ke-50 di tahun 2019, atau turun lima peringkat. Apabila menilik pencapaian negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Thailand, dan Malayasia, posisi Indonesia jauh lebih rendah. Indonesia hanya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, dan Laos.
Hal ini tentu saja bukanlah kabar yang menggembirakan. Berbagai aktivitas antarnegara seperti perdagangan internasional, investasi, hingga kerja sama bilateral dan multilateral di berbagai bidang sangat ditentukan oleh Indeks Persaingan Global yang dirilis tersebut.
Hal ini dikarenakan indeks tersebut juga berlaku sebagai refleksi atas berbagai persoalan lainnya seperti penegakan hukum, termasuk juga kesiapan sumber daya manusia yang dimiliki.
Ada fakta empirik yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita bersama bahwa kapasitas penguasaan teknologi berkaitan erat dengan lapangan pekerjaan yang dimiliki. Mengacu pada data yang dirilis oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), lebih dari 70 persen PMI yang bekerja di luar negeri bekerja di sektor informal, seperti asisten rumah tangga, buruh pabrik dan perkebunan, serta kuli bangunan.
Hal ini disebabkan karena kualifikasi pendidikan mereka yang rendah, yakni lebih dari 98 persen pekerja migran tersebut hanya menamatkan pendidikan pada jenjang menengah atas ke bawah. Kompetensi yang rendah ini membawa pada dampak derivatif lainnya seperti kinerja yang kurang optimal, efektif, dan efisien, hingga menjadi objek tindak kekerasan dan subjek pelanggaran hukum di negara lain.Â
akta ini berbanding terbalik dengan kualifikasi pekerja migran dari Tiongkok dan India yang sudah cukup banyak berkecimpung di bidang yang memberikan penghasilan tinggi. Yang menjadi poin pembeda tentu saja kecakapan para ekspatriat kedua negara tersebut di bidang penguasaan teknologi.
Solusi jangka panjang