Mohon tunggu...
Aly Taufiq
Aly Taufiq Mohon Tunggu... Guru - Pemuda biasa yang selalu bahagia

Pemuda biasa yang selalu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fase Kritis Demokrasi Kita

25 Desember 2019   13:52 Diperbarui: 31 Mei 2020   23:59 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, pemerintah bersama DPR sedang ngebut merampungkan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sederet isu sudah diputuskan, meskipun beberapa isu krusial lainnya masih membutuhkan pembahasan panjang.

RUU ini adalah rangkaian insfrastruktur demokrasi kita yang masih diselimuti jalan terjal. Labirin panjang berkelok seakan juga tak ada ujung yang segera kita temui. Endemik intrik politik rasanya kian hari juga kian mengubur cita-cita kemakmuran negeri ini. Gejala apa gerangan yang terjadi?

Bung Karno dalam salah satu kesempatan pidatonya mengatakan secara retoris-provokatif: "Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yaitu politiek-economische yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial".

Kutipan pidato sang proklamator itu betapapun masih sangat kontekstual dan relevan jika kita bumikan ke dalam demokrasi Indonesia saat ini. Mengapa? Meminjam istilah R. William Liddle (2010) demokrasi Indonesia saat ini adalah demokrasi in waiting, demokrasi yang sedang proses loading, demokrasi yang sedang 'mencari bentuk', menentukan posisi mana yang pas, format bagaimana yang cocok serta gaya apa yang klik.

Sejalan dengan hal itu, wakil presiden Mohammad Hatta dalam "Demokrasi Kita" juga pernah mengatakan bahwa kelak harusnya demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang sesuai dengan kultur dan juga nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa, bukan demokrasi yang asal "copy-paste" mentah-mentah dari Barat. Demokrasi seperti itu dinamakan oleh Hatta sebagai demokrasi kekeluargaan yang menjunjung tinggi permusyawaratan.

Konsep demokrasi yang digagas oleh Soekarno dan Hatta itulah yang kemudian hari diterjemahkan oleh Yudi Latif (2011) sebagai demokrasi deliberatif.Demokrasi yang meletakkan keutamaan diskusi dan juga musyawarah yang bertendensi pada argumentasi-argumentasi serta daya konsensus serta hikmah kebijaksanaan yang mumpuni.

Namun, rupanya lain konsep lain pula pelaksanaan. Menilikkondisi yang ada dan berkembang belakangan ini, terutama soal demokrasi serta dunia perpolitikan negeri ini,agaknya kita harus rela untuk berpikir lebih keras lagi guna menentukan langkah yang lebih serius, bertindak secara jeli tidak asal-asalan dan juga berlaku adil serta konstruktif dalam membaca demokrasi.

Kenyataannya demokrasi kita masih sangat gaduhdan diwarnai dengan intrik dan konflik sekaligus kental dengan aromasaling mengalahkan serta kagiatan-kegiatan yang bersifat politis-transaksional.

Karut marut demokrasi kita tidak hanya datang dari sulitnya menerapakan konsep saja, namun juga ketidak seragaman kita dalam memahami demokrasi itu sendiri juga menjadi masalah yang teramat serius yang harus kita kaji lebih jauh.

Bukankah tidak sedikit produk demokrasi kita hari ini yang dianggap inkonstusional? Hampir di setiap pascahajatan pemilu, pemilukada dan juga pemilihan-pemilihan yang lainnya selalu diikuti oleh protes, kecaman dan juga tak jarang "amuck" dari pihak yang kalah karena merasa dicurangi. Sudah tidak terhitung lagi jumlah sengketa pilkada yang terjadi di negeri ini, dan itu semua sebagaimana kita pahami adalah salah satu produk demokrasi negeri ini.

Mahfud MD (2012) pernah mengutip Samuel P. Huntington dalam menganalisis perjalanan demokrasi negeri ini. Mahfud, meminjam Huntington, mengatakan bahwa jika melihat realitas demokrasi kita hari ini sesungguhnya sampai manakah tahapan demokrasi negeri ini? Ilmuwan politik asal Amerika Huntington itu mengatakan bahwa setidaknya ada dua tahapan dalam demokrasi yakni tahapan transisi dan juga tahap konsolidasi.

Tahapan transisi ini adalah tahapan di mana sebuah negara beranjak dari cengkeraman rezim lama menuju "dunia baru", sementara tahapan konsolidasi demokrasi terjadi tatkala demokrasi sudah menjadi satu-satunya acuan serta aturan yang diterapkan dalam negera tersebut, tak ada yang lain.

Jika kita sependapat dan bertolak dengan pola pembacaan demokrasi berdasarkan katagori yang ditawarkan oleh Huntington tersebut tentu dengan sangat mudah kita akan segera menyimpulkan bahwa demokrasi kita hari ini masih berada pada tahap transisi.

Masa transisi demokrasi itu setidaknya terlihat dari masih belum berhasilnya pemerintahan kita "melepaskan" diri dari cengkeraman orde-orde penguasa sebelumnya. Bahkan jika kita mau terus terang sebetulnya reformaasi yang kita banggakan yang terjadi pada 1998 itu belumlah berhasil.

Reformasi dalam arti menggulingkan kekuasaan Soeharto secara formal mungkin sudah, namun yang tak berhasil kita gulingkan adalah "Soeharto-Soeharto" lain dan baru yang pascareformasi kelahirannya semakin lama semakin banyak.

Dalam istilah lain, perampok tunggal negeri ini pada era orde baru adalah Soeharto secara individu, namun pasca reformasi perampok negeri ini adalah Soeharto-Soeharto lain yang lebih abstrak sifatnya.

Lebih dalam lagi kondisi demokrasi kita hari ini juga sangat mungkin bisa dikatakan sebagi demokrasi nirdemos, demokrasi yang tidak menempatkan rakyatknya sebagai instrumen utama dalam pelaksanaannya. Demokrasi yang semacam ini sungguh sangat berbahaya dampaknya jika kita kita biarkan terlalu berlarut-larut.

Kita harus belajar bahwa apapun sistem yang kita jalankan, keadulatan rakyat harus dijunjung setinggi-tingginya. Inggris atau misalnya Belanda yang sejak dahulu konsistenmemilih monarki sebagai sistem dalam bernegara, patut kita ajukan pertanyaan, mengapa mereka berhasil? Jawabannya karena yang mereka utamakan adalah keadaulatan rakyat di atas segala-galanya.

Rakyat menjadi subjek utama yang harus dijamin kehidupannya. Kedaulatan rakyat dijamin oleh negara. Maka jelas, menggunakan sistem model bagaimanapun, berganti pola pemerintahan seperti apapun jika tanpa dibarengi dengan penghargaan serta jaminan atas kedaulatan rakyat maka runyamlah negara tersebut

Tidak ada pilihan lain, yang harus kita lakukan hari inia dalah menjadikan rakyat sebagai tulang punggung dan subjek utama demokrasi. Dengan begitu jalan menuju era konsolidasi demokrasi yang kita idam-idamkan sangat mungkin untuk kita raih. Semoga.

*Oleh: Aly Taufiq. Artikel ini dimuat pada Republika Online 20 Juni 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun