Sejak Islam hadir di tanah Arab melalui Nabi Muhammad SAW, ia telah tampil sebagai gerakan pembebas. Islam telah membebaskan masyarakat Arab dari paganisme dan kejahilan. Namun demikian, Islam tidak serta merta memberangus budaya yang telah tertanam selama berabad-abad. Ada beberapa budaya Arab yang masih diakomodir oleh Islam sebagai pengejawantahan watak dinamisnya ajaran Islam. Salah satu budaya Arab yang diadopsi oleh Islam adalah hukum diyad dan Qisas. Kedua hal tersebut adalah praktek budaya masyarakat Arab pra Islam. Begitu juga di Indonesia, Islam datang membebaskan masyarakat pribumi dari segala macam kepercayaan animisme, dinamisme dan tradisi kasta, namun tak serta merta kemudian menggusur kebudayaan yang telah lama bercokol di Indonesia. Watak pembebasan Islam Indonesia secara sosiologis telah diwujudkan dalam peran ulama’ dan pejuang muslim dalam mengusir penjajah. Adalah “Resolusi Jihad”, sebuah fatwa yang dikeluarkan, K.H. Hasyim Asy’ary untuk mengusir agresi militer yang dilancarkan oleh sekutu. Fatwa tersebut berbunyi ; Perang Melawan Belanda adalah Jihad yang wajib dan mengikat dilaksanakan oleh seluruh umat Islam Indonesia. Fatwa tersebut terbukti mampu membakar semangat umat Islam untuk melakukan perlawanan melawan sekutu pada tangal 10 November 1945. Dengan demikian, salah satu watak Islam Indonesia adalah pembebas, dalam konteks kekinian, pembebas bisa dimaknai membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan dan korupsi yang telah lama menggurita. Allah berfirman : Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri Ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi-MU” Dari ayat ini kita mendapatkan inspirasi dan perintah bahwa Islam menginginkan orang yang beriman berjuang untuk kepentingan orang-orang yang tertindas di antara mereka, perempuan maupun anak-anak yang berharap dilepaskan dari cengkraman penindas. Pada akhirnya, dengan mengukuhkan karakter di atas, semoga kita akan terhindar dari label Islam “berwajah garang “. (Sumber : jurnal Pena Pergeraka no 1 Tahun 2012) REFERENSI
Azzumardi, Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Mizan : 1994) Nurdin M.Si, Ali, dan Abd. Aziz Hasibuan, M.Pd., Islam dan Prospek Keberagamaan di Indonesia, (Jakarta : UIN press : 2006) Wahid, Abdurrahman, Ilusi Negara Islam ; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta : Wahid Institute : 2009) Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, (Jakarta : Pustaka firdaus : 1997) cet ke 3 Husein Haikal, Muhammad , Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta : Litera Antarnusa, 2003) Dewanto, Nugroho, Wahid Hasyim Dari Tebu Ireng Untuk Republik, Jakarta (KPI : 2011) Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41 dodwnload 15/1/12 Wahid, Abdurrahman, Memahami Peran Budaya Pesantren, Opini Koran Kompas, 31 Juli 2004. Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta, (The Wahid Institute : 2006) Ar-Razi, Fahruddin, Tafsir Mafatihu al Ghaib, Libanon, (Darr Al-fikr : 1981) Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung :IKAPI, 1995) Najitama, Fikria, Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya serta Implikasinya bagi Pembangunan Hukum Islam Khas Indonesia, Jurnal Al Mawarid, edisi XVII.2007., hal. 107
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H