Mohon tunggu...
Aly Taufiq
Aly Taufiq Mohon Tunggu... Guru - Pemuda biasa yang selalu bahagia

Pemuda biasa yang selalu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Indonesia: Upaya Pencarian Karakter

12 April 2013   16:37 Diperbarui: 1 Juni 2020   00:38 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Aly Taufiq Sejak awalmula masuk ke Indonesia hingga masa kolonial Belanda, Islam di Indonesia masih terkonsentrasi pada penyebaran agama, belum menampakkan perdebatan aliran dan sekte. Ajaran yang disebarkan juga masih sangat sederhana, menyangkut Tauhid dan Fiqih. Islam datang ke Indonesia melalui jalan damai, tak ada darah menetes. Para penyebar agama yang Hanif ini berhasil merasuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat dan melebur menjadi satu, tanpa menggusur dan mengeliminasi budaya lokal. Dalam proses penyebarannya di Indonesia, ajaran Islam bersinggungan dengan budaya masyarakat lokal. Lambat laun, ajaran Islam berakulturasi dengan budaya lokal, kemudian melahirkan corak Islam Indonesia yang khas dan unik. Ciri khas Islam pada saat itulah yang disinyalir sebagai Islam Indonesia, berbeda dengan Islam di negara manapun di dunia Akulturasi tersebut melahirkan sebuah karakter Islam yang begitu toleran, lembut dan peduli terhadap lokalitas budaya. Tradisi dan keyakinan masyarakat Indonesia tak serta merta ditentang dan dicela, namun sedikit demi sedikit diluruskan dan disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini nampak sekali dilihat dari strategi penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, mereka bisa menanamkan nilai keislaman pada setiap budaya yang sudah ada. Namun pada melinium ke tiga ini, berbagai ideologi dan gerakan Islam Transnasional masuk ke Indonesia. Gerakan yang diimpor dari luar ini membawa ide purifikasi dan pemurnian Islam dari praktik-praktik –yang mereka anggab sebagai-- bid’ah. Akibatnya, muslim Indonesia mengalami kebingungan dan krisis identitas. Karakter Islam Indonesia yang belum terbentuk sempurna kini terpengaruh oleh ideologi impor. Islam Indonesia menjadi “abu-abu”. Untuk itu, mencari kembali Islam Indonesia menjadi hal yang sangat mendesak karena dua alasan. Pertama, mencari tradisi (turats) Islam Indonesia. Pencarian ini sangatlah perlu sebagai titik pijak menuju pengembangan intelektual Islam di Indonesia. Intelektual Islam di Indonesia ibaratkan sebuah bangunan yang tinggi, sedangkan tradisi Islam Indonesia adalah anak pondasi, ia digunakan sebagai tumpuan guna menopang bangunan. Satu generasi tidak akan mampu melakukan pembaharuan mulai dari nol, melainkan harus bersedia mengadopsi kekeyaan tradisi lama. Dengan demikian, tradisi Islam Indonesia harus dirumuskan dan dihargai, sekaligus dihadapi dengan kritis agar kita menjadi kreatif. Kedua, menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di Indonesia. Di kalangan Muslim Indonesia, terdapat perbedaan strategi dalam perjuangan Islam, sebagian kelompok berpendapat bahwa perjuangan Islam di Indonesia harus melalui formalisasi dan jalur resmi negara, sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa perjuangan Islam sebaiknya dilakukan melalui jalur kultural. Untuk mengetahui jalur mana yang lebih efektif, maka sangat perlu menggali kembali Islam Indonesia, sehingga strategi perjuangan Islam masa kini benar-benar sesuai dengan karakter ke Indonesiaan. Islam Indonesia Dalam Perspektif Historis Memahami corak Islam Indonesia, dapat ditelusuri dari awal mula masuknya Islam di Indonesia dan para tokoh berpengaruh yang turut menyebarkan Islam. Pada awal perkembangannya di Nusantara, Islam dinilai natural serta belum bersinggungan dengan berbagai kepentingan dan ideologi. Ia menyebar ke Indonesia dengan gaya naturalnya, tanpa ada upaya untuk membentuk Islam Indonesia seperti Islam di negara lain. Menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok, yaitu: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya. Hingga saat ini, pembahasan ketiga masalah pokok tersebut memang belum tuntas. Hal tersebut, menurut Azzumardi Azra, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terkait tempat asal kedatangan Islam ke Indonesia, terdapat tiga teori yang berbeda. Pertama, asal muasal Islam di Nusantara adalah Anak Benua India. Teori yang dikembangkan oleh Pijnappel ini berargumen bahwa terdapat orang-orang Arab bermadzab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Kedua, teori yang mengatakan asal muasal Islam di Nusantara adalah dari Gujarat. Moquette, seorang sarjana Belanda, mendasarkan kesimpulan teori ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai yang sangat mirip dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Ketiga, teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arabia. Sedangkan menyangkut waktu kedatangan Islam ke Nusantara, terdapat tiga pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke 7. Sedangkan pendapat ke dua mengatakan Islam masuk ke Nusantara Abad ke 12, dan pendapat ke tiga mengatakan pada Abad ke 13.Meskipun terdapat berbagai macam perbedaan pendapat, namun tak ada perselisihan mengenai cara masuknya Islam ke Indonesia. Para ahli sejarah sepakat, Islam masuk dan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia tanpa didahului penaklukan fisik dan pertumpahan darah. Penaklukan fisik di tanah Jawa pernah terjadi saat kerajaan Demak menaklukan Majapahit, namun hal itu justeru dilakukan paling akhir, saat Islam telah cukup merata menyebar. Satu hal lagi yang dapat dipastikan, bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Arab dan Parsi, yang diantara mereka ada yang menetap lama di pelabuhan dan menikahi wanita-wanita setempat, lambat laun dapat mengislamkan penduduk pribumi. Peranan sufi dalam penyebaran agama Islam juga sangat besar karena merekalah yang dapat mengajarkan Islam kepada masyarakat Indonesia dengan cara yang lebih mudah dan dengan pendekatan budaya yang juga mudah diterima. Di tanah Jawa, Wali Songo (wali sembilan) adalah salah satu pioner yang sangat mendepankan dialog sebagai bahasa utama dalam penyebaran agama Islam. Wali songo juga mengetengahkan dialektika antara Islam dan Jawa yang terbukti menjadi strategi jitu. Mayoritas masyarakat Jawa yang saat itu didominasi oleh kepercayaan Hindu dan Budha berangsur-angsur menjadi muslim, dan uniknya masyarakat Jawa tak pernah merasa terpaksa atau merasa kehilangan budaya yang dulunya mereka pegang erat-erat.   Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo, menggunakan berbagai media untuk berdakwah, yang paling masyhur adalah wayang dan gamelan. Meskipun nama tokoh yang digunakan menggunakan cerita sejarah kepahlawanan Budha-Hindu, Mahabarata dan Ramayana, namun terbukti Sunan Kalijaga mampu mengkolaborasikan dengan ajaran Islam sehingga menjadi nilai dakwah tersendiri. Peyebaran Islam dengan model komunikasi dialog semacam ini barangkali sangat berbeda dengan di wilayah lain yang umumnya didahului penaklukan fisik. Gambaran di atas menjadi cukup bukti bahwa penyebaran Islam di Indonesia diawali dengan internalisasi kultural. Ini bukan berarti bahwa Islam Indonesia lebih baik dibanding dengan Islam di negara lain, akan tetapi semata-mata hanya persoalan karakter masyarakat Indonesia yang kemudian mewarnai cara beragama bangsa Indonesia. Kesadaran tentang keragaman dan sikap anti kekerasan telah “mendarah daging” dalam diri masyarakat Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam Indonesia pada awalnya mempunyai karakter : pertama, terbuka dengan hal baru serta toleransi terhadap perbedaan. Kedua, mengedepankan bahasa dialog. Ketiga, disebarkan melalui internalisasi kultural. Keempat, penyebarannya tanpa didahului penaklukan fisik. Islam Indonesia : Infiltrasi Gerakan Islam Transnasional  Di tengah proses pencarian identitasnya yang belum usai, pada abad modern ini, Islam Indonesia didatangi gerakan Islam Transnasional. Mereka membawa ideologi baru yang sangat berbeda dengan karakter masyarakat Indonesia. Pada dekade 1970, umat Islam Indonesia kesulitan keuangan untuk membiayai studi mahasiswa belajar ke luar negeri, Wahabi menyediakan dana besar melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk membiayai mahasiswa belajar ke beberapa Negara di Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Belakangan, alumni program beasiswa ini menjadi agen penyebaran Transnasional dari Timur Tengah ke Indonesia. Tidak hanya di situ, DDII kemudian juga mendirikan lembaga pendidikan di Indonesia yang kebanyakan alumninya memainkan peran sebagai agen Wahabi di Indonesia. Kemudian mendekati tumbangnya Orde Baru, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok-kelompok Islam garis keras yang tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Beberapa kelompok tersebut di antaranya Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, jama’ah Islamiah, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Persiapan Penerapan Syari’ah Islam (KPPSI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hingga saat ini, gerakan-gerakan tersebut sudah menyebar ke seluruh tubuh bangsa, mereka masuk dari istana Negara hingga ke pegunungan. Gerakan mereka sangat sistematis, terancana dan dengan dukungan dana yang luar biasa. Gerakan ini, menurut Abdurrahman Wahid berusaha meminggirkan bentuk-bentuk pengalaman toleran yang telah lama menjadi karakter Islam Indonesia. Kelompok Islam transnasional ini tak jarang menganggap muslim lain yang berbeda dari mereka sebagai kurang islami. Sehingga mereka berupaya menguasai masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah dan ormas-ormas –seperti Nu dan muhammadiyah—untuk mengubahnya sesuai dengan ideologi mereka. Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa agenda kelompok-kelompok Islam tersebut adalah untuk meraih kekuasaan politik melalui formalisasi agama. Mereka mengklaim jika Islam menjadi dasar Negara dengan menggantikan pancasila, jika syari’ah dijadikan sebagai hukum positif, jika khilafah Islamiyah ditegakkan, maka semua problema yang dihadapi bangsa Indonesia akan selesai. Munculnya beragam gerakan Islam yang diimpor tersebut turut serta mengaburkan Identitas Islam Indonesia. Mereka telah membuat “kegaduhan” karakter Islam Indonesia yang mulai menemui titiktemu.

Empat karakter Islam Indonesia yang telah terbentuk pada masa penyebarannya sedikit-demi sedikit mulai kabur. Islam Indonesia yang dikenal ramah dan toleran semakin terlihat “berwajah garang”. Kegarangan itu semakin jelas dengan munculnya berbagai kasus bom bunuh diri dan perusakan rumah ibadah. Sejak munculnya serangan bom Bali pada tahun 2002, terorisme, khususnya yang melibatkan pelaku muslim dan dilakukan dengan motivasi yang dikaitkan dengan kemusliman mereka, menjadi salah satu isu yang mewarnai kehidupan beragama Indonesia. Sejak itu pula, dunia memandang Indonesia sebagai salah satu sarang terorisme. Jika Islam Indonesia tidak segera mengukuhkan dirinya sebagai Islam yang toleran dan lembut, lambat laun akan dilabeli sebagai Islam garis keras dan “berwajah garang”. Tentu saja label tersebut sangat tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang ramah dan suka menolong. Islam Indonesia : Mengukuhkan Identitas

“Islam” dan “Indonesia” merupakan dua kata yang sangat berbeda. namun, kedua kata tersebut sangat terkait dan tidak bisa dipisahkan. “Islam” dan “Indonesia” mewakili berbagai perspektif yang cukup komplek. Sebagaimana diketahui, Islam adalah agama samawi yang diturunkan di Arab –sebuah negeri yang sangat berbeda dibanding dengan Indonesia—dan disebarkan di Indonesia. Sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk yang berbeda suku dan ras. Pengukuhan identitas Islam Indonesia membutuhkan pembacaan akan dua hal, yaitu pembacaan “Realitas Indonesia” dan pembacaan “Realitas Islam”. Kita telah sedikit mengulas penyebaran Islam di Indonesia sebagai upaya pembacaan kedua realitas tersebut di masa lampau. Pembacaan ulang atas “Realitas Islam” dan “Realitas Indonesia” dalam konteks modern tentu sangat dibutuhkan dengan mempertimbangkan masa lampau, dan memang inilah fusngsi dari adagium “Al muhaafadzatu ala al qodimi as solih, wa al akhdu bil jadidi al ashlah”. Dengan membaca kedua realitas tersebut, kita akan menemukan karakter Islam Indonesia, antara lain : Islam Indonesia : Moderat dan Jalan Tengah

Rekam jejak penyebaran Islam di Indonesia telah memperlihatkan watak akomodasionis “budaya lokal” dan “ajaran Islam”, dengan demikian antara “Islam” dan “Indonesia“ mempunyai karakter yang sama, yaitu “terbuka”. Dalam sejarah agama monotheisme, Islam bukanlah agama baru, bahkan Islam seringkali disebut sebagai milah Ibrahim. Fiman Allah : Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang yang musyrik. Katakanlah (Muhammad), “Benarlah (segala yang difirmankan) Allah. “Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang yang musyrik. Menurut Moeslim Abdurrahman, Islam, sesuai dengan namanya, merupakan penerusan sikap penyerahan diri kepada Tuhan secara penuh. Dalam struktur ajaran Islam, elemen-elemen dari nilai tradisi penyerahan kepada Tuhan itu diserap begitu rupa dan diakui bagian yang esensial dari Islam.

Dalam ajaran Islam, keragaman agama di dunia memang sudah menjadi sunatullah, jika saja Tuhan menghendaki umat manusia sama dan beriman pada ajaran Nabi Muhammad, maka niscaya seluruh manusia tak akan mampu menolaknya. Namun Tuhan Tidak mau menjadikan agama di muka bumi ini seragam, umat Islam hanya diminta menjadi saksi atas keragaman itu, dan berlaku adil terhadap siapa saja. Firman Allah menegaskan : Dan Jika Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua manusia di muka bumi ini, tetepi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang beriman? Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…. Watak keterbukaan Islam tersebut, secara sosiologis telah diwujudkan oleh Nabi Muhammad ketika membentuk masyarakat di Madinah. Komunitas Madinah bersifat pluralis, terdiri dari berbagai suku dan ras, yang memiliki kesepakatan untuk membangun kebersamaan. Watak keterbukaan Islam juga tercermin saat perjanjian Hudaibiyah. Saat hendak dituliskan kata Bismillahirrahmanirrahim dalam perjanjian tersebut, Suhail b. Amr, utusan orang kafir menyela dan berkata “stop, tulislah Bismikaallahumma, maka Nabi Muhammad menuruti. Dan ketika hendak ditulis Muhammad Rasululah, Suhail b. Amr juga malarang dan berkata “Jika saya sudah mengakui engkau rasulullah, tentu saya tidak akan memerangimu”. Maka Nabi SAW menggantinya dengan Muhammad bin Abdullah. Watak keterbukaan Muslim Indonesia juga tercermin saat menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 11 Juli 1945, suasana sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia memanas, terjadi ketegangan antara kelompok Islam Nasionalis dan Nasionalis Sekuler. Pangkal ketegangan adalah pada perdebatan tujuh kata dalam rancangan pembukaan UUD 1945 : Ketuhanan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan juga pasal 4 ayat 2 yang mengatur presiden : “Yang dapat menjadi presiden dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Rancangan ini sempat disepakati, namun sehari setelah Proklamasi 17 Agustus, kelompok Kristen dan Katolik nasionalis di Indonesia Timur merasa keberatan, kemudian akhirnya kelompok Islam Nasionalis yang diwakili oleh Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan menyepakati untuk menghapus tujuh kata dan pasal tersebut. 30 tahun kemudian, NU menerima pancasila sebagai asas negara dan menjadikan pancasila sebagai dasar organisasi pada Muktamar di Situbondo 1984. Hingga kini keberadaan pancasila diterima oleh ulama dan Kyai NU serta sebagian besar muslim Indonesia. Telah nyata watak keterbukaan “Islam” dan “Indonesia”. Watak keterbukaan ini bukan berarti menerima segala kebenaran di luar drinya, melainkan sikap penghormatan atas perbedaan dan pencarian jalan tengah (tawassuth) terhadap kutub ekstrim. Watak keterbukaan ini menjadikan Islam Indonesia lebih dinamis dalam menghadapi problem sosial. Keterbukaan akan melahirkan sikap moderat dan menghormati perbedaan. Inilah karakter yang diwariskan oleh Nabi dan para pendahulu Republik yang hingga saat ini masih menjadi mainstream begarama kita. Segala upaya yang hendak mengeliminasi bentuk-bentuk pengalaman toleran kita, bukan hanya ahistoris, tapi juga merupakan tindakan gegabah dalam memahami “Realitas Islam” dan “Realitas Indonesia”. Islam Indonesia : Menjaga kearifan lokal

kearifan lokal adalah suatu nilai, pandangan atau gagasan yang dipertahankan oleh komunitas di suatu tempat (lokal) yang bersifat bijaksana (Arif), bernilai baik digunakan dalam menjawab dan menyikapi berbagai masalah. Istilah ini dalam bahasa Inggris disebut local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) Menurut Prof. Nyoman Sirtha –sebagaimana dikutip oleh Sartini-- bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Kearifan Lokal Islam Indonesia bisa dilihat dari tradisi pesantren. Selain sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren mempunyai peranan penting dalam menjaga kearifan budaya lokal. Hal tersebut begitu kentara dari arsitekturnya yang mengadopsi budaya Jawa. Misalnya Mamba'ul Ma'arif, Denanyar, Jombang, pesantren ini menjadikan masjid sebagai titik sentral dari keseluruhan bangunan-bangunannya. Pada titik sentral ini, mulanya, seluruh kegiatan pesantren dilaksanakan. Mulai dari sekolah, mengkaji kitab kuning, hingga shalat berjamaah. Di sebelah selatan masjid, terdapat bangunan komplek induk (kamar santri yang tertua), sedangkan di sebelah Utara, terdapat rumah tempat tinggal pengasuh. Sampai saat ini, kebanyakan dari bangunan-bangunan pesantren Denanyar, mengambil posisi berhadapan dengan masjid. Arsitektur seperti ini sama persis dengan pesantren Langitan, Widang, Tuban. Menurut Gus Dur, Bentuk arsitektur yang sedemikian rupa, bukanlah terbentuk secara tidak disengaja. Pendiri, K.H. M. Bisri Syansuri, (pendiri P.P Denanyar) secara aktif mengambil arsitekturnya dari simbol budaya Jawa yang berlandaskan pada pagelaran wayang. Santri adalah aspiran (salikun) yang berada di perjalanan menuju ke arah "kesempurnaan pandangan." Karena proses belajar dan mengajar di pesantren bukanlah sekedar "menguasai" ilmu-ilmu keagamaan, melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup dan perilaku para santri itu nantinya setelah "kembali" dari pondok pesantren ke dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya, para kyai adalah mereka yang telah memiliki "kesempurnaan pandangan" (washilun). Dalam pengertian tasawuf, masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah antara keduanya merupakan tempat "pertempuran moral" berlangsung di antara santri yang akan diubah perilakunya oleh kyai. Jika dianalogikan pada budaya Jawa, hubungan Kyai-Santri sama persis dengan hubungan pandawa-kurawa. Mereka adalah orang yang mencari kebenaran dan yang telah sampai pada kebenaran itu sendiri.

Hal ini semakin menegaskan bahwa pesantren tidak didesain ke Arab-araban, melainkan sarat dengan kearifan lokal. Sehingga pesantren merupakan perwujudan sintesis yang menghadirkan watak budaya nusantara. Di Indonesia, Islam harus diletakkan sebagai Islam Indonesia dengan segala kearifan lokalnya. Islam tak pernah memberangus atau mengeliminasi budaya lokal, baik yang ada di Indonesai maupun di Arab.

Islam Indonesia : Menentukan strategi perjuangan Seluruh gerakan Islam di negeri ini hampir semua sepakat, bahwa orientasi perjuangan Islam Indonesia adalah kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan adagium : “Tasharrufu al imam ala al ra’iyah manuutun bi al mashlahah”, kebijakan seorang imam pada rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan. Namun tak semua gerakan Islam tersebut sepakat dalam menggunakan strategi perjuangan mereka. Kelompok pertama berpendapat bahwa Islam harus diperjuangkan melalui formalisasi negara. Kelompok ini menganggap penting adanya perwujudan Negara Islam. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa perjuangan Islam akan lebih baik melalui jalur kultural, tanpa harus diwujudkan dalam suatu negara Islam. Hal ini desebabkan berbedaan pendapat tentang penafsiran surat Al-Baqarah ayat 208 : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalah “al-silmi’ secara sempurna” Kelompok pertama berpendapat bahwa kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, sehingga dengan sendirinya harus ada entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem Islami. Kalangan ini menganggap penting perwujudan Partai Politik Islam dan negara Islam sebagai alat perjuangan. Sedangkan kelompok kedua menerjemahkan kata “al-silmi” dengan kedamaian atau ketaatan, menunjuk pada sebuah entitas universal yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Isami, sehinggga perwujudan partai Politik Islam dan negara Islam dianggap tidak perlu.

Ar-Razi menuliskan dalam tafsirnya ; “Makna asal kata “al-silmi” adalah al-inqiyadh (tunduk patuh). Allah berfirman “tunduk patuhlah! Ibrahim mnjawab aku tunduk patuh kepada tuhan semesta alam. Agama Islam dinamakan Islam karena makna tersebut. Kata ini juga banyak digunakan untuk menyebut perdamaian dan anti kekerasan juga karena makna tersebut, sebab di dalam perdamaian setiap orang harus tunduk patuh kepada rekannya yang saling tidak bertentangan.” Dengan demikian, Islam memberi peluang kepada setiap pemimpin untuk memilih sitem kenegaraan masing-masing. Islam hanya memberi batasan-batasan dan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar.

Bung Hatta --sebagaimana dikutip oleh Dr. Syafi’i Maarif-- pernah berpesan kepada umat Islam agar berpedoman kepada “Ilmu garam : terasa tapi tak kelihatan, bukan kepada ilmu gincu ; kelihatan tapi tak terasa” Substansi dari pesan ini adalah bahwa agar perjuangan Islam di Indonesia benar-benar dirasakan sebagai ajaran yang mampu menggarami kehidupan kita sebagai umat, yaitu ajaran yang bisa memberikan substansi, bukan hanya formalisasi. Dengan bahasa lain, perjuangan Islam Indonesia sebaiknya dapat dirasakan oleh masyarakat meskipun tidak tampak dalam simbol kenegaraan dan peraturan daerah. Perjuangan Islam Indonesia akan lebih terasa jika malalui jalur kultural. Formalisasi Islam melalui Negara dinilai Hatta sebagai “lipstik” yang hanya nampak formal dalam beberapa simbol kenegaraan, tapi subtansinya tak dirasakan oleh masyarakat.

Islam Indonesia : Pribumisasi bukan Arabisasi Akhir-akhir ini, muslim Indonesia telah mengalami gejala Arabisasi yang telah berkembang menjadi Islamisasi. Muslim Indonesia Seolah bangga dengan istilah yang dinamai dengan bahasa Arab. Misalnya nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan ; kata Syari’ah dipakai untuk Hukum Islam, Adab dipakai untuk Sastra Arab, Ushuluddin untuk studi gerakan-gerakan Islam dan Tarbiyah untuk pendidikan. Selain itu, sebagian dari masyarakat kita juga sering menggunakan kata Akhi untuk menggantikan kata sahabat, atau Antum untuk menggantikan kata kamu atau mereka. Gejala ini menunjukkan bahwa penggunaan simbol Arab seolah-olah lebih Islami. Gejala ini menunjukkan bahwa masyarakat muslim Indonesia mewujudkan rasa keberagamaan mereka dengan penggunaan nama dan bentuk bahasa Arab. Hal tersebut, menurut Gus Dur, adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam menghadapi kemajuan Barat. Jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab, seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban barat.   Bahaya dari proses Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Jika proses Arabisasi dikalukan secara massif, masyarakat muslim Indonesia akan kehilangan identitas yang selama ini menjadi cirikhas. Padahal kita tidak menjadi kurang islami jika menggunakan bahasa Indonesia untuk hal-hal tertentu. Misalnya dalam penamaan beberapa pesantren yang ada di Indonesia, sebagian masyarakat lebih senang menisbatkan pesantren dengan nama desanya. Misalnya pesantren Denanyar untuk menyebut pesantren yang didirikan oleh K.H. Bisri Sansuri. Pesantren Tebu Ireng untuk menunjukan pesantren yang didirikan oleh K.H hasyim Asy’ary dan pesantren Tambak Beras untuk menunjukan pesantren yang didirikan oleh K.H wahab Hasbullah. Penisbatan dengan bahasa Indonesia ini lebih mudah dan tidak kurang Islami dari pada menggunakan bahasa Arab. Islam Indonesia Sebagai Pembebas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun