Sewaktu masa-masa akhir sekolah, pelajar dihadapkan kepada dua pilihan berat, yakni melanjutkan ke jenjang perkuliahan atau langsung bekerja. Di sini lah banyak doktrin bermunculan di antara keduanya. Ada yang beranggapan jika lebih baik bekerja karena bisa langsung menghasilkan uang, tidak merepotkan orang tua, atau karena memang tidak memiliki keinginan atau kompetensi melanjutkan pendidikan.
Di sisi lain, doktrin untuk berkuliah terlebih dahulu juga tak kalah frontalnya. Katanya, kuliah akan memudahkan dalam mencari kerja, jabatannya bagus, bisa mengubah nasib keluarga, sudah gratis, dan sebagainya. Bahkan, banyak sekolah yang terkesan mewajibkan siswanya untuk melanjutkan ke jenjang diploma atau sarjana.
Doktrin mengenai kerja dan kuliah akhirnya justru membuat siswa di akhir masa sekolah salah membuat pilihan. Terlalu banyaknya pengaruh yang masuk membuat mereka pada akhirnya tidak dapat menemukan jati diri mereka. Yang kerja, mereka tidak betah dan berujung gagal atau paling tidak hidupnya di situ-situ aja. Sedangkan mereka yang kuliah, lebih banyak lagi masalahnya.
Salah satu masalah terbesarnya adalah jurusan. Ya, menurut Irene Guntur, M.Psi., Psi., CGA, dari Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF) dikutip dilansir dari Okezone.com menyebutkan sebanyak 87 persen mahasiswa di Indonesia salah jurusan. Bayangkan saja apabila mahasiswa sudah salah jurusan, mau jadi apa kedepannya?
Kuliah Terpaksa, Terpaksa Kuliah
Semua bermula dari kuliah yang bukan merupakan tujuan, namun hanya pelarian. Ini terlihat dari alasan atau motivasi mahasiswa yang telah menjajal beratnya dunia akademik perguruan tinggi. Seberapa banyak sih mahasiswa yang memang memiliki niat murni untuk kuliah? Berapa orang yang kuliah karena memang ingin mengejar cita-citanya? Berapa banyak mahasiswa yang kuliah sesuai passion-nya? Percayalah, mereka adalah minoritas.
Ya, kenyataannya sebagian besar mahasiswa justru berkuliah karena alasan yang di luar nalar. Beberapa di antaranya adalah hanya ikut-ikutan teman, terlalu banyak menerima masukan, adanya tawaran bantuan atau beasiswa, dan pastinya faktor lingkungan khususnya keluarga dan orang tua.
Tak adanya motivasi yang kuat justru membuat mahasiswa terpaksa untuk berkuliah. Namun ibarat kata pepatah, sesuatu yang dipaksakan hasilnya tidak akan maksimal, termasuk kuliah. Kuliah yang dilakukan secara terpaksa justru tak menghasilkan apa-apa. Buktinya, kuliah masa kini yang penting hanya dapat nilai dan lulus dengan gelar, sedangkan ilmu dan skill-nya urusan belakangan.
Tak Menjamin Masa Depan
"Buat apa kuliah serius kalau ujung-ujungnya nanti kerja nggk sesuai sama jurusan kuliahnya", begitu lah kata mereka. Pendapat itu memang ada benarnya, dimana Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, dikutip dari Detik.com yang menyebutkan bahwa hanya ada maksimal 20 persen lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan program studinya.
Mereka yang telah bekerja walaupun tak sesuai dengan jurusan kuliahnya itu pun termasuk beruntung, loh. Mengutip data dari situs resmi Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Februari 2023, ada 12 Persen atau sekitar 958,800 orang sarjana yang menjadi pengangguran. Dengan kata lain, terdapat hampir 1 juta sarjana yang menganggur dari total jumlah pengangguran sebanyak 7,99 juta. Kira-kira, mengapa bisa demikian?
Jawabannya karena mahasiswa tidak punya kompetensi yang dibutuhkan karena kuliahnya hanya sekadar kuliah. Alias, poin ini akan kembali lagi pada pembahasan motivasi kuliah.Â
Jadi, sejatinya perkuliahan telah menyajikan komponen pembelajaran mumpuni yang semestinya dapat dimanfaatkan, dikembangkan, dan dimaksimalkan oleh mahasiswa. Terlebih lagi, kini sudah ada Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang semakin membuka jalan bagi mahasiswa untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Artinya, bukan kuliah yang tak menjamin masa depan, namun skill yang diperoleh selama berkuliah lah yang dapat menentukannya.Â
Bukannya Tak Mau, Tapi Tak Cukup
Lagipula, fakta baru juga menentukan jika masyarakat Indonesia memiliki antusiasme yang sangat tinggi terhadap dunia perkuliahan. Sederhananya, orang Indonesia banyak banget kok yang ingin kuliah. Hanya saja, tempat kuliahnya yang masih sangat terbatas.
Menurut Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK Prof. Dr. R. Agus Sartono, MBA., dilansir dari Detik.com menyebutkan jika setiap tahun ada sekitar 3,7 juta pelajar lulus SMA, MA dan SMK. Namun tak semua pelajar lulusan setingkat SMA tersebut bisa meneruskan ke bangku kuliah. Hanya 1,8 juta lulusan SMA bisa meneruskan kuliah ke perguruan tinggi, sedangkan 1,9 juta yang lainnya tidak memiliki kesempatan yang sama.
Jadi, pembenahan di dunia perguruan tinggi bukan hanya pada kualitas mahasiswanya saja, namun juga pada kapasitas atau daya tampung. Disamping itu, perlu juga untuk menghilangkan stigma yang berbunyi "Jika sekolah atau perguruan tinggi bertujuan untuk memintarkan, mengapa hanya menerima anak sudah pintar atau berprestasi?"
Itulah sebagian keluh kesah di dunia perkuliahan. Masalahnya dimulai dari pola pikir hingga sistem pendidikan. Evaluasi keduanya memerlukan daya dan usaha seluruh pihak dengan waktu yang panjang, segalanya demi mewujudkan salah satu tujuan berdirinya negara yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sumber:
https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya
https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/05/05/2001/februari-2023--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-45-persen-dan-rata-rata-upah-buruh-sebesar-2-94-juta-rupiah-per-bulan.html
https://www.detik.com/edu/sekolah/d-5623865/setiap-tahun-37-juta-pelajar-lulus-sma-hanya-18-juta-yang-bisa-kuliah
http://news.okezone.com/read/2014/02/24/373/945961/duh-87-mahasiswa-indonesia-salah-jurusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H