Mohon tunggu...
Moch Ferdi Al Qadri
Moch Ferdi Al Qadri Mohon Tunggu... Lainnya - Ketua Umum HMP PAI UM Surakarta. Pegiat SEED Institute, Solo. Marbot Masjid Baitul Atiiq.

Minat studi Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mempertanyakan Gempa Turki dan Suriah

12 Februari 2023   09:20 Diperbarui: 12 Februari 2023   09:31 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menurut Anda, kita mesti berduka atau bersuka cita atas gempa hampir M 8 di Turki dan Suriah?

Dugaanku mayoritas manusia bertanya apa sebab terjadi gempa, berapa korban jiwa, seberapa dampak kerusakan, bagaimana nasib korban dan bagaimana cara menolong mereka. Mungkin ada yang tersinggung dengan pertanyaan di atas. Alansannya karena kita semua melihat para korban ketakutan, menangis, putus asa, berkabung. Mereka sedih karena tempat tinggal rata dengan tanah, keluarga tercinta wafat atau belum ditemukan. CNN Indonesia mengabarkan Minggu, 12 Februari 2023 korban tewas menembus angka 28 ribu.

Video amatir dan foto-foto ikut memperlihatkan kondisi Turki dan Suriah dilanda bencana. Gedung tinggi runtuh dan terbakar, debu dan asap menyebar kengerian, bayi dan anak-anak diselamatkan, banyak yang tak selamat. Mereka bersedih. Pantaskan untuk bertanya harus senang atau sedih?

Aku pun bersedih mengenang kondisi masyarakat Turki dan Suriah yang ditimpa musibah. Beberapa waktu lalu, Mamuju (Sulawesi Barat), tanah kelahiran saya juga ditimpa gempa. Walau tak separah gempa di Turki, tetap saja itu gempa bumi. Pertanyaan tidak kuajukan untuk dijawab spontan, melainkan perenungan.

Aku teringat pada rentetan bencana alam di bumi Indonesia. Betapa mengerikannya tsunami di Aceh (2004), meletusnya gunung Merapi (2010), gempa, tsunami dan likuifasi di Palu (2018), hingga gempa di Cianjur (2022) untuk menyebutkan sedikit saja bencana alam yang menimbulkan kerusakan dan kematian.

Para ahli di bidang sains tentu dapat menjelaskan penyebab, proses hingga akibat yang dapat ditimbulkan bencana-bencana tersebut secara ilmiah. Pun penanganannya. Bencana bisa terjadi karena mekanisme alam atau karena ulah manusia. Penyebab kedua ini sudah banyak menjadi perhatian dunia dan dikonferensikan dalam forum-forum nasional hingga internasional untuk dicari solusinya.

Perang juga salah satu bencana kemanusiaan yang menakutkan. Tak peduli siapa yang memulai. Tak peduli apa alasannya. Cobalah hitung berapa korban jiwa akibat penjajahan Kolonial Belanda di Nusantara, atau persentase kerusakan lingkungan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, atau kehancuran besar akibat perang dunia pertama dan kedua. Data-data bisa dihamparkan, tapi tak dapat mempertanggungjawabkan akibat yang tak terdata.

Aku tersadar dari lamunan data-data. Kematian adalah kejadian individual. Telah kukabarkan banyak bencana yang memakan korban puluhan, ratusan, ribuan, hingga jutaan. Sekalipun sejuta manusia meninggal karena ledakan nuklir, tetap saja mereka dijemput ajal seorang diri. Demikian pula yang terjadi di Turki dan Suriah. Tercatat jumlah 28 ribu kematian masih terus bertambah. Meskipun disebabkan oleh satu bencana, dalam satu wilayah, di waktu bersamaan, kematian datang pada seorang demi seorang.

Jika kematian itu sangat intim, maka peristiwa sakral ini sama bagi setiap orang. Ajal yang menjemput seorang pemuda akibat gempa di Turki sama dengan ajal yang menjemput seorang kakek tua di Indonesia. Keadaan luar adalah keragaman keadaan fisikal. Itu lumrah. Ada yang mati karena kecelakaan mobil, atau serangan jantung, atau ditimpa gedung. Kematian yang sama juga bisa menjemput seorang pemuda yang sedang mengetik sebuah esai.

Saya tidak bisa mengatasi persoalan ini seorang diri. Maut: Batas Kebudayaan dan Agama karya Sidi Gazalba (1975) menolong menerangkan persoalan. Maut menurut ajaran agama Islam ialah “terpisahnya roh dari zat, psike dari fisik, jiwa dari badan, yang gaib dari yang nyata.” Kematian bukanlah sekedar kejadian fisik untuk dicari solusinya seperti yang diupayakan ilmuwan Barat, malah meliputi kejadian ruhaniah. Gazalba menegaskan: “Roh adalah pangkal hayat kemanusiaan.” Maut merupakan kejadian ruhani yang melampaui kejadian jasmani. Inilah sebab manusia mengalaminya seorang diri.

Kaum materialisma, menurut Gazalba akan terus berupaya untuk mengelak dari kematian. Berbagai eksperimen dilakukan untuk memperpanjang usia manusia hingga transfer kesadaran (dalam bentuk data) ke suatu entitas lain dengan salah satunya bantuan bioteknologi. Mereka bekerja keras karena meyakini kehidupan hanya ada di dunia, sedangkan kehidupan setelah kematian (akhirat) dianggap sebatas dogma agama yang tak masuk akal.

Pergulatan manusia menghadapi dirinya juga dilakukan dengan menjelajah angkasa luar. Menimbang kondisi bumi yang semakin rusak dan tinggal menunggu waktu kehancuran, kemungkinan planet hunian lain adalah pengharapan kabar gembira. Kedua upaya mengelak kematian di dalam dan luar diri manusia ini mengorbankan ongkos yang sangat banyak. Manusia bahagia jika mampu melampaui kematian.

Berbeda pandangan, Islam justru mengabarkan kebahagiaan sejati hanya diperoleh setelah memenuhi satu-satunya syarat: mati. Manusia bekerja keras dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan. Seorang anak bermain layangan, seorang pemuda mendaki gunung, seorang istri menyenangkan suami dan sebaliknya, orang tua membeli mainan untuk anak-anaknya; seorang kaya mengoleksi puluhan mobil mewah, seorang miskin mengais sampah, seorang pejabat korupsi, seorang pengemis meminta-minta, untuk satu tujuan: bahagia. Kebahagiaan ditandai terpenuhinya kebutuhan, malah memuaskan keinginan.

Kebahagiaan itu hanya diperoleh di dunia. Ada durasi yang pasti, ia terbatas. Kebahagiaan dunia hanyalah sementara. Kebahagiaan di akhiratlah kebahagiaan abadi, demikian Allah swt. mengabarkan kepada makhluknya melalui para nabi dan rasul-Nya. Dan kebahagiaan hakiki dan abadi bagi manusia beriman ialah melihat wajah tuhannya, penciptanya, Allah swt. (Qs. Al-Qiyamah: 22-23).

Penjelasan mengenai kebahagiaan tertinggi ini ditulis dengan sangat indah oleh Buya Hamka. Izinkan saya mengutip tiga paragraf utuh tafsir beliau terhadap Qs. Al-Qiyamah ayat 22-23 dalam Tafsir Al Azhar:

“Melihat wajah Allah, Tuhan yang menganugerahkan nikmat yang tidak terhitung, baik nikmat tatkala hidup di muka bumi atau sambungan nikmat setelah sampai di akhirat, adalah menjadi puncak cita-cita bagi sekalian orang yang beriman. Syurga itu sendiri barulah mencapai kepenuhan nikmat bilamana di sana orang yang beriman diberi kesempatan melihat wajah Tuhan. Sedangkan di dunia saja, seorang rakyat biasa sangatlah rindu bila dapat berjabat tangan dengan Raja atau Kepala Negara. Dan itu sukar sekali diperdapat. Sekali-sekali kalau ada hari-hari luar biasa, Kepala Negara berkenan memperlihatkan senyumnya di hadapan satu majlis, berebutlah orang tegak ke dekat beliau, agar sama termasuk dalam gambar (foto) yang diambil oleh wartawan-wartawan foto. Namun oleh karena sukarnya mendapat kesempatan yang demikian, maka sebahagian besar orang telah merasa putusasa akan dapat berhadapan wajah dengan Kepala Negara itu. Gambarkanlah dan bandingkanlah ini dengan keinginan seorang Mu’min hendak melihat wajah Tuhannya.

“Bila Tuhan berkenan, lalu atas kurniaNya seorang Mu’min ditempatkan di dalam syurga jannatun na’im, yang penuh dengan segala rahmat, nikmat, kurnia dan anugerah, namun duduk dalam syurga itu belumlah berarti, belumlah mencapai puncak nikmatnya, kalau Allah belum berkenan memperlihatkan wajahnya. Sama juga dengan seorang yang dibolehkan masuk ke dalam istana yang indah, cukup barang-barang mahal, dipertontonkan, dipamerkan di dalamnya, sedang yang empunya istana tidak memperlihatkan diri.

“Oleh sebab itu dapatkah difikirkan betapa berseri-seri, betapa rasa bahagia hati Mu’min bila peluang itu diberikan kelak, yaitu peluang melihat wajah Allah.”

Jika manusia memahami sepenuhnya kesempatan merengkuh kenikmatan tertinggi ini, maka kematian adalah kabar gembira. Janji Tuhan tentang ganjaran-Nya menjadi motivasi utama para sahabat berperang di medan Badar, Uhud, Khandak, bersama Rasulullah saw. Mereka berperang membela diri, lebih merindukan kematian (syahid) daripada kehidupan. Dengan begitu mereka tidak takut menghadapi lawan. Kesungguhan dalam hidup dan penantian ajal itulah yang membuat hidup seorang manusia bermakna.

Sampai di sini saya rasa cukuplah bahan renungan untuk menjawab pertanyaan di atas. Tentu kita bersedih terhadap kondisi Turki dan Suriah yang dilanda gempa bumi hebat. Kita tidak tega memikirkan nasib para korban jiwa yang masih memiliki cita-cita besar dalam hidup belum dapat terwujud. Juga nasib para penyintas yang kehilangan keluarga dan harta benda. Tugas kita sebagai sesama umat Muslim sekaligus sesama umat manusia ialah menolong mereka sebatas kemampuan: penggalangan dana dan bantuan logistik, tim penolong, dan berdoa. Demikianlah manusia saling bahu membahu menolong sesama.

Selebihnya kita patut berbahagia karena diberi kabar gembira: mereka syahid. Rasulullah saw. mengatakan orang-orang beriman yang mati karena tertimpa reruntuhan ialah salah satu golongan yang syahid (HR. Bukhari dan Muslim). Mereka mendahului kita menaiki tangga kebahagiaan. Kubayangkan mereka meneguk segelas air dari cawan emas yang dituang para malaikat.

Ya Allah, ampunilah mereka, belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosa mereka. Muliakanlah tempat tinggalnya, luaskan jalan masuknya, dan basuh dan sucikanlah mereka dengan air, salju dan embun.  Masukkanlah mereka ke dalam surga dan lindungilah mereka dari siksa kubur, fitnah dan siksa api neraka. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun