Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Raja Kecil Jalanan dan Impian Pendidik

15 Maret 2017   22:40 Diperbarui: 15 Maret 2017   22:50 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kenapa pincang?

Tingkah laku jalanan si raja kecil yang sering mengendarai kendaraannya di luar jalur adalah contoh kongkrit dari tidak berpadunya ketiga aspek tersebut. Karyawan perusahaan menengah ke atas, pegawai negeri, TNI atau polisi atau bahkan (maha) siswa yang mengambil jatah jalan orang lain (yang seharusnya jatah dari lawan arah) ketika di jalan raya adalah gambaran dari ketidakterpadunya ketiganya.

Bisa jadi mereka memiliki nilai yang bagus di bidang akademik, namun saat di jalan raya tidak pernah memperdulikan orang lain. Saya adalah saya. Saya adalah apa yang saya pikirkan dan lakukan. Mereka mengendarai kendaraannya di luar kontrol; zig-zag seenaknya, rambu-rambu lalu lintas tidak menjadi perhatian saat melewatinya, palang rel kereta pun tak pernah dipandang saat melintas di penyeberangan rel.

Kondisi yang demikian adalah hasil dari proses pendidikan yang panjang yang melibatkan banyak orang. Kultur atau nilai seperti itu sudah menjadi jamak, dilakukan oleh banyak orang hampir di seluruh daerah. Orang-orang di kota besar atau kota kecil tetap saja melakukannya walau mereka mengetahui bahwa itu tidak baik dan mencederai nilai-nilai kolektif pendidikan sendiri.

Pertanyaan berikutnya, dari mana merubah sikap yang kontra dengan nilai-nilai pendidikan itu? Andai saja semua orang mampu berfikir tentang nilai-nilai pendidikan hal itu tak akan pernah terjadi. Namun sayangnya nilai-nilai pendidikan itu hanya mampu diteropong oleh orang-orang yang mampu mengendap-endap mengendus hakekat pendidikan itu. Bahkan seperti tersebut di atas banyak dari raja kecil itu adalah abdi (kantor) negara atau bahkan guru, yang notabene profesi yang dibebani tanggung jawab mendirikan nilai dan hakekat pendidikan.

Sejatinya pemberlakuan Kurikulum 2013 beberapa tahun lalu diniatkan untuk memperbaiki budi pekerti anak didik. Namun anak-didik hanya sekedar anak didik yang tidak mampu menyulap dirinya menjadi lebih cantik dan mahal. Dia dikondisikan cantik dan hebat hanya saat mereka di kelas. Tetapi saat di kehidupan sebenarnya, di tengah masyarakat, mereka melihat banyak tontonan yang kontradiktif dengan materi dan pitutur-pitutur mulia di ruang kelas.

Jadi tidaklah heran bila anak-anak kita hanya menjadi korban permainan sandiwara semu sosial, yang sungguh kontradiktif antara ruang kelas dan ruang sosial, jika raja-raja kecil itu tidak tertahan gerakan liarnya.

Semoga filosofi pendidikan itu tidak hanya terhenti di ruang kelas, namun diboyong ke ruang sosial oleh para alumni pendidikan yang memimpikan negeri ini maju beradab dan  berkemajuan, apapun profesi sekarang mereka. Karena bagi anak didik kita, pekerjaan mereka tidak amat penting. Lebih dari itu, sikap mereka lebih menjadi cermin siapa mereka sejatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun