Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2014 antara Politik "Wanimu Piro" dan Piro Wanimu"

5 Februari 2014   11:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendengar kata pemilu, apa yang terbayangkan adalah apa yang pernah kita alami waktu-waktu lalu, ketika momen itu datang. Ada yang dengan senang gembira, ada yang biasa-biasa dan ada yang apatis menghadapinya. Yang senang mungkin adalah mereka yang mendapat keuntungan dari proses pemilu itu, baik pra pemilu, ketika pemilu itu sendiri atau paska pemilu. Yang biasa-biasa adalah mereka yang ikut pemilu hanya menggugurkan kewajiban dari RT dan RW dimana dia tinggal. Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya tinta di jari. Sedangkan mereka yang apatis, adalah mereka yang merasa dirugikan oleh kegiatan pemilu itu.

Pertanyaan selanjutnya, berada dimanakah posisi kita dari ketiganya? Akankah GOLPUT yang angkanya ketika pemilu 1999 (10,21%) 2004 (23,34%) dan 2009 (39,1%) cukup tinggi akan berulang lagi pada pemilu 2014?

Sebenarnya harapan para penyelenggara pemerintah dari tingkat RT hingga Presiden menyarankan warga Indonesia tetap berperan aktif dalam setiap proses demokrasi yang ada. Menurut mereka, warga yang baik adalah mereka yang menyampaikan aspirasinya melalui pemilu itu. Dengan berpartisipasi dalam proses demokrasi itu kita ikut serta menentukan jalannya pemerintahan ini. Siapa nanti yang akan menjadi pemimpin negara dan penyelenggaranya akan tergantung partai apa dan siapa yang menang.

Namun demikian, terkadang pesan pejabat pemerintah hanyalah suara kosong yang bagi sebagian orang tidak lebih dari ekspresinya karena mereka memiliki kepentingan pribadi. Buktinya di setiap proses demokrasi tetap ada warga-warga yang memilih untuk tidak memilih, alias golput.

Hingga saat ini penulis belum menemukan penelitian tentang siapa-siapa yang mengambil jalan golput itu dan mengapa mereka memilih golput. Kemudian jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan apa yang dimiliki oleh peserta golput tersebut. Mungkin jika pembaca memiliki hasil penelitian itu, boleh penulis diberikan link untuk informasi penguat tulisan ini.

Hal ini penting untuk diketahui bersama, karena berkat perbincangan penulis dengan beberapa sumber yang memiliki pendidikan lebih baik (misalnya S1/ S2) justru mereka memilih untuk golput karena beberapa alasan. Alasan-alasan yang muncul diantaranya, pemilu hanya ajang untuk mereka yang memiliki kepentingan, baik para caleg ataupun orang-orang partai hingga orang-orang yang menginginkan jabatan tertentu karena proses pemilu itu. Selain itu, proses pemilu tidak memiliki dampak secara langsung terhadap kehidupannya. Juga pemilu hingga sekarang belum mampu membentuk pejabat yang diimpikan masyarakat. Berita-berita korupsi pejabat, utamanya yang dihasilkan oleh proses demokrasi sering kali juga menyakiti hati dan kepercayaan pemilih.

Segala obrolan yang berada dalam masyarakat, tidak serta merta muncul. Tentunya mereka memiliki pengalaman dan pengamatan masing-masing terkait dengan proses demokrasi di Indonesia dan efek domino yang terjadi dalam masyarakat. Siapapun juga tidak ada yang memiliki wewenang untuk menghentikan golput dalam masyarakat.

Dalam dua bulan terakhir, misalnya, lingkungan dimana penulis tinggal kehadiran hanya 3 orang calon legislatif, satu orang calon DPR dari PKS, 2 orang calon anggota DPRD dari PAN dan Hanura dalam waktu yang berbeda.

Kami dari lingkungan, sebenarnya mengapresiasi kehadiran ketiganya. Artinya bahwa ketiganya memiliki perrmulaan yang baik untuk mensosialisasikan visi dan misinya kepada lingkungan saya. Pertemuan tersebut berisi sosialisasi, rencana, hingga tuntutan warga kepada caleg. Tak pelak obrolan itu kesana kemari, hingga muncul adagium ayam atau telur.

Kawan-kawan saya berpikir praktis sepraktis bagaimana para legislator saat ini berkiprah dalam dunia politik. Para caleg itu memiliki tujuan untuk mencari dukungan suara dari lingkungan kami, dan kawan penulis pun bertindak praktis.

"Apa yang akan Bapak/ Ibu sumbangkan kepada warga sini sebelum kami menantukan pilihan?"
"Politik itu ibarat telur dan ayam. Mana yang lebih dulu, ayam atau telur?"
"Kami warga tidak dapat mendukung Bapak/ Ibu, jika tidak ada perhitungan yang jelas"

Itulah fakta dalam masyarakat kita. Praktis dalam berpolitik dan berpolitik praktis, seakan-akan pemilu itu ajang mencari keuntungan dan menuntut pembangunan. Karena fakta di daerah kami, jika warga solid memilih si Anu, pembangunan fasilitas akan mulus. Sebaliknya jika masyarakat hanya sekedar memilih caleg-calegngompreng main dengan foto dan tidak terjun ke masyarakat, pembangunanpun juga macet atau senderung swadaya.

Nah, bila sudah demikian siapa yang harus disalahkan? Pun siapa yang berani menyalahkan kelompok ketiga, kelompok yang apatis dan GOLPUT?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun