Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Untuk Siapa Negeri Ini Masih Ada?

10 Juli 2012   04:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:07 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai orang yang lahir di Indonesia, pernahkan Anda merasa bosan hidup di negeri ini? Atau mungkin Anda merasa frustrasi, demotivatif, tersingkir dan tidak diperhatikan oleh para penyelenggara negeri ini? Atau bahkan Anda merasa tidak dihargai oleh para pejabat yang konon sebagai pelayan rakyat itu?

Saya termasuk “yakin” bahwa perasaan dan pikiran seperti tersebut pernah hinggap di pikiran kita. Banyak hal yang menjadi sebab mengapa hal itu bisa muncul.

Pertama, kondisi perpolitikan di negeri ini yang belum pernah secara total berpihak kepada rakyat. Kedua, rakyat hanya dijadikan alat untuk mencari kekuasaan tanpa mendapat akses yang berimbang. Ketiga, sistem demokrasi yang dari dulu hingga sekarang terus dibalut dan dipoles, namun berporos kepada kekuasaan golongan dan individu tertentu. Ke empat, sistem ekonomi yang tidak berorientasi kepada rakyat dan cenderung beralih pada kaidah-kaidah liberalisme.

Kondisi demikian seakan terus diperparah oleh penampakan kaum kaya dan politikus yang terus berlomba untuk kesejahteraan mereka dan segelintir dari mereka. Nyaris rakyat hanya dijadikan penonton aktifitas-aktifitas dan berita-berita korupsi, sedangkan rakyat begitu sulit untuk mencari kehidupan. Rakyat dipaksa untuk melihat pemandangan-pemandangan yang sungguh kontraproduktif dengan keadaan riil mereka yang mencari kehidupan dengan kepala menjadi kaki dan kaki menjadi kepala.

Tentu kita bisa memaklumi, bahwa kondisi mereka memang berbeda. Para pejabat dan politikus, dan orang-orang kaya terus mendirikan pundi-pundi kekayaan mereka, sedangkan rakyat kecil sering terlunta-lunta untuk mencoba mencari kehidupan yang lebih layak. Para karyawan biasa mendapatkan upah pas-pasan, para peminta-minta meraja lela, pengemis berseliweran di perempatan-perempatan kota.

Belum lagi saat-saat sulit namun memerlukan biaya yang tinggi, siapa yang peduli dengan rintihan rakyat.

Kondisi seperti ini, hingga saat ini belum beranjak berubah. Cita-cita reformasi yang berangkat dari peristiwa Mei 1998, kandas di tengah jalan. Para politikus berganti, pejabat berganti, namun rakyat belum sepenuhnya tercukupi kebutuhan-kebutuhan fisiologisnya.

Para tokoh reformasi nampaknya juga tidak kuat mengendalikan arah negeri “autopilot” ini. Negeri ini serasa tidak memiliki nahkoda yang mampu memberikan motivasi kepada rakyatnya yang sedang berada pada masa-masa sulit ini. Nahkodanya justru malah sibuk mengurus keluarga, saudaranya, sanak familinya, tetangganya dan rumahnya.

Para pakar pun angkat tangan. Menyerah pada jaman buatan yang diciptakan oleh penguasa. Pakar hukum tata negara juga kerepotan mencari formulasi perbaikan di tanah air tercinta ini. Para pengacara dan ahli hukum pidana sibuk mencari selamat atas orang-orang yang membayarnya. Pakar pertanian, pakar ekonomi, seakan terbang entah kemana.

Pemilu dan pemilukada, saat ini, laiknya seperti ular naga yang siap mencengkeram kehidupan rakyat kecil. Rakyat kecil akan diperas, diperalat, dicekik oleh kekuatan naga tersebut. Dan bukan tidak mungkin rakyat akan di”makan”nya.

Otonomi daerah, yang dulu digembor-gemborkan, berkonsep luar biasa, kini juga telah hilang entah kemana. Pakar otonominya pun sudah tidak terdengar suaranya.

Para penegak hukum sibuk mencari celah-celah tembok keadilan yang masih dapat dijebol demi keuntungan pribadinya. Siapa yang mampu membayar akan menjadi pemenang. Salah dapat disamarkan menjadi hal yang benar adanya dengan kepiawaian diplomasi. Rakyat, apalagi rakyat miskin, sekali lagi tidak menjadi penduduk yang berharga di negeri ini.

Tidak cuma itu, di negeri ini banyak guru, kepala sekolah dan para pendidik itu pun telah latah untuk menganggap bahwa hanya orang kaya dan berkantong tebal yang layak bersekolah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun