Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Kemerdekaan Bercinta

16 Agustus 2011   16:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:43 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Negeri ini telah merdeka 66 tahun yang lalu. Para pahlawan kemerdekaan telah banyak menumpahkan darahnya untuk senyum ibu pertiwi, yang selama ini menangis tersedu. Sang ibu telah lama tertimpa masalah-masalah yang terkadang disebabkan karena konflik antar pejuang. Pejuang yang bertempur untuk kepentingan bangsa dan negara dan mereka yang berjuang demi kepentingan pribadi dan keluarga. Pejuang yang ikhlas berjuang untuk kepentingan bela negara, risih mengikuti cara berpikir para penjajah. Merka juga enggan makan makanan pemberian penjajah yang didapat dengan merintih dan memohon, hingga berselingkuh dari Tuhannya. Mereka lebih suka berdebat dengan para penjajah dari pada mengiyakan rayu dan bujuk agar kita mengalah pada kehendak mereka.

Para pejuang yang penuh senyum ketidaksepahaman dengan mereka yang berjuang dengan ikhlas mempertahankan harga diri bangsa cenderung bersuka cita. Mereka berfoya-foya dalam temaramya malam setelah sesiang telah berpura-pura berjuang demi masa. Namun mereka menggunting dalam lipatan hingga harus menumpahkan darah sebangsa hanya untuk seonggok kesenangan dan roti belanda.

Dua atap yang berbeda, atap kesetiaan dan atap pengkhianatan. Atap-atap itu sebagai pemisah dan pembeda para pejuang negeri ini hingga pada akhirnya kue kemerdekaan terlempar ke tangan para pencetus kemerdekaan. Mereka-mereka telah berjuang mati-matian berkorban darah, kaki putus, kehilangan tangan, wajah yang hancur hingga nyawa-nyawa yang terpencar dari raganya.

Nama-nama mereka harum menghiasi hati para penerus kemerdekaan. Para pejuang yang ikhlas berjuang itu terus tersenyum melihat perkembangan bumi pertiwi yang dipenuhi generasi yang menghargai mereka dan perjuangannya. Nama-nama yang akan terus menjadi isnpirasi bagi generasi penerus bangsa ini tak akan lepas dari deretan tasbih-tasbih kesetiaan pada negeri yang telah diperjuangkannya. Tasbih-tasbih para pahlawan terus bergandengan sebagai ikatan kuat yang menuju pada kehidupan yang berharga dan diwarnai dengan harga diri bangsa. Harga diri yang besar.

Mereka telah bersusah payah mempertahankan negeri ini dengan segala pengorbanannya, harus kita jadikan semangat bersama dalam membangun negeri tercinta ini. Walau dalam perkembangannya banyak orang-orang yang tidak memiliki peran pada tasbih-tasbih para pahlawan itu terus merongrong dengan berbagai ulah.

Banyak politikus negeri ini yang terus bekerja demi kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya. Mereka tidak lagi menengok para pahlawan yang telah membelah jalan negeri ini menuju alam kemerdekaan. Justru mereka berkongsi mewarnai pemerintahan dan terus berkreasi membuat aturan dan regulasi yang terus mengkredilkan arti kemerdekaan dan rakyat, yang konon menjadi titik perjuangan para pahlawan.

Korupsi, usaha-usaha kotor, membuat fasilitas undang-undang yang kelak akan melancarkan niat mereka dan kelompoknya merongrong fasilitas dan kekayaan negeri. Dengan pongah mereka terus menggelembungkan rekening-rekening mereka untuk kepentingan keluarga mereka, hingga berturun-turun.

Sementara itu banyak terlihat warga negara tercinta ini, yang mungkin juga bagian atau keturunan dari para pahlawan itu terus berjuang untuk mencari makan. Mereka mengais-ais sampah di jalan atau di tempat pembuangan sampah. Mereka merangkak-rangkak menuju atas lumpur yang menutup rumah mereka. Mereka berjuang menahan rasa lapar karena berhari-hari tidak menemukan makanan. Mereka banyak yang terus memegangi perut mereka yang mekar karena nasi aking. Mereka yang kedinginan menahan angin, panas dan hujan karena hanya hidup di bawah kolong jembatan dan kolong langit. Mereka yang rela hidup di tengah-tengah bangunan kuburan. Mereka yang terus menengadahkan tangannya memelas memohon kasih.

Itulah kehidupan riil di negeri ini. Penguasa yang jauh dari rakyat. Mereka akan menyapa rakyatnya ketika mereka akan mencari kursi dan jabatan, lalu setelah itu terus menelanjangi rakyat dengan aturan-aturan yang tidak memihak ke rakyat. Mereka begitu rendah menghargai rakyat ini. Tak ubahnya rakyat hanyalah makhluk hina dina yang tidak bermanfaat.

Sedang mereka? Lelaki kuat dan wanita hebat. Mereka berjalan di jalan laksana raja kuat yang terus dikawal secara ketat. Bila rakyat kecil lewat di depan mereka terus dipercepat karena dianggapnya kualat. Bila di stanplat pejabat mau lewat dipasang kawat yang kuat agar rakyat tak bisa melompat. Bila rakyat mau mengais rejeki untuk sekedar memenuhi kebutuhan perut, mereka akan terus diuber bak pengkhianat.

Lalu harus kemana lagi rakyat yang notabene latar perjuangan para pahlawan itu menumpahkan keluh kesahnya? Siapa lagi yang tahu jawabannya? Agar kemerdekaan ini sungguh berarti?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun