Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Maafkanlah, Saya Lebih Memilih Sekolah Swasta Daripada Negeri

30 Januari 2012   08:45 Diperbarui: 4 April 2017   17:19 11821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era sekolah gratis saat ini, khususnya sekolah negeri, ternyata masih banyak juga orang yang tetap memilih sekolah-sekolah swasta. Tentu kenyataan itu tidaklah aneh, karena orientasi kehidupan seseorang memang berlainan dan memiliki dasar pertimbangan lain. Yang pasti, mereka sudah diperhitungkan dengan matang untung dan ruginya.

Dikotomi antara sekolah negeri dan swasta sampai detik ini pun juga masih kita rasakan. Sekolah swasta yang benar-benar mandiri mungkin soal keuangan tidak masalah. Biaya operasional masih dapat ditutup dengan subsidi dari yayasan atau sekolah sendiri. Dan sekolah jenis ini sungguh masih sangat banyak terutama di kota-kota besar. Mereka pun berani pasang bandrol yang mega biaya, bahkan bangku kuliah pun tidak ada apa-apanya.

Dari awal mereka sudah pasang tarif yang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh keumuman warga negara Indonesia. Tengok saja sekolah-sekolah swasta yang labelnya sekolah internasional, mereka menentukan biaya awal/ masuk sekali lagi sangat besar hingga berpuluh-puluh juta.  Juga ada beberapa sekolah umum  nasional yang mendekati sekolah bertaraf internasional. Saya disini tidak akan menyebutkan sekolah-sekolah itu, sehingga pembaca bisa searching sendiri.

Setelah itu, ada sekolah-sekolah yang levelnya di bawah. Masuk sekolah di SDnya bisa menyentuh 15 jutaan rupiah. Sekolah-sekolah ini biasanya masih dapat dijangkau oleh kebanyakan warga Indonesia. Terbukti kuota siswa pada sekolah-sekolah level menengah atas seperti ini masih penuh, walaupun mereka sudah mulai kesulitan mencari siswa. hal itu disebabkan karena pesaing sekolah sejenis sudah mulai banyak.

Level berikutnya adalah sekolah-sekolah terpadu atau integral yang kebanyakan berlabel IT-IT (Islam terpadu). Jumlah sekolah ini saat ini sangat banyak dan keprofesioanalan sekolah-sekolah tersebut dipantau oleh JSIT (jaringan Sekolah Islam Terpadu). Sekolah-sekolah Islam Terpadu yang berada di bawah naungan JSIT bukan hanya SD, namun juga TK, SMP dan SMA. Penyebarannya pun hampir tersebar di semua propinsi.

Biaya masuk ke sekolah-sekolah Islam terpadupun juga bervariasi, dari 3-15 juta, tergantung letak greografis dan kekuatan finansial yayasan pengelolanya. Misalnya anak saya yang bersekolah di SDIT daerah Wonogiri berbeda dengan ketika mereka di SDIT daerah Bekasi atau Jakarta. Di Wonogiri, untuk masuk ke SDIT biaya yang dibandrol tidak sampai satu juta rupiah. tetapi untuk di Bekasi paling murah berkisar 4-5 juta untuk masuk.

Namun demikian sekolah-sekolah model beginian, bukannya tidak laku. Di tengah-tengah sekolah negeri yang gratis atau biaya murah, sekolah-sekolah Islam Terpadu masih diburu banyak warga masyarakat. Misal saja, musim ini saya mencari SDIT untuk kepindahan putri saya di area Tambun begitu sulit. Saya telah masuk beberapa sekolah namun kuotanya sudah penuh. Itu artinya sekolah-sekolah swasta semacam ini sangat diminati oleh anggota masyarakat.

Mungkin banyak alasan mengapa mereka lebih memercayakan putra dan putri mereka ke sekolah sejenis ini. Di antara yang sering saya dengar adalah mereka tidak mendapatkan apa-apa di sekolah negeri. Mungkin kata "apa-apa" ini hanya sebagai ungkapan kekecewaan kepada pengelolaan sekolah dan kualitas guru-gurunya.

Saya sendiri tidak menyekolahkan kedua putri saya di sekolah dasar negeri. Saya lebih memilih sekolah Islam Terpadu untuk pendidikan mereka, karena mereka lebih di"manusiakan" dari pada di sekolah negeri. Walaupun saya mengetahui bahwa di daerah sekitar saya, sekolahnya lebih murah bahkan gratis. Dan lagi tentu ada pertimbangan emosional yang turut mempengaruhi keputusan ini, walaupun terkadang terasa berat.

Sekolah-sekolah lain adalah sekolah swasta yang minim anggaran. Sehingga kondisi gedung mengkhawatirkan, tidak terurus, kotor dan tidak mencerminkan lembaga pendidikan. Biasanya biayanya sangat ringan, karena memang targetnya anggota masyarakat yang kurang mampu. Gurunyapun sering mendapatkan gaji terlambat atau bahkan tidak gajian sudah beberapa bulan. tentu kondisi ini memprihatinkan dan sudah selayaknya mendapatkan perhatian istimewa dari pemerintah.

Untung saja, misalnya gurunya masih mendapatkan TF (Tunjangan Fungsional) sebagai penghibur para guru. Tetapi terkadang merekapun harus mengembalikan TF tersebut hampir 50% untuk kepentingan sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun