Film yang paling sabar dan tabah. Bagaimana tidak, film yang sudah mengendap beberapa tahun ini akhirnya sekarang bisa ditayangkan dan dilihat oleh semua orang, di bioskop kesayangan Anda, tentu saja. Sebuah thread seorang pengarang bernama Simpleman ini viral pada tahun 2019, kemudian dipinang oleh produksi house, dan desas-desusnya ini adalah produksi film dengan budget yang tidak main-main.
Untuk mengobati rasa penasaran, akhirnya kemarin beli tiketnya untuk nonton. Dan, ternyata yang penasaran bukan hanya saya saja, Â alhasil loket pembelian tiket antre memanjang---sangat panjang. Begitu antusiasnya masyarakat dan tabah juga mereka menunggu dua tahun lamanya. Â
Tidak banyak berbicara tentang bagaimana proses saya nonton film, hanya ingin berbagi apa yang ada di dalam film tersebut. Film bergenre horor ini selalu dan masih mengingatkan saya pada diri sendiri. Dan pada akhirnya saya mengiyakannya untuk masuk ke dalam diri saya, dan apa saja yang baik silakan masuk saja.
Film ini rasanya sudah cukup mewakili beberapa urgensi kebiasaan manusia dalam kehidupan bersosial; etika dan moral, penyesuaian hidup, menghargai teritori privasi, serta kesadaran akan perbedaan. Hal ini, tentu sangat lumrah sekali dalam kebudayaan hubungan horizontal atau antar manusia.
Pernah juga saya membaca satu esai berjudul "Surealisme Dagelan Jawa di Amerika" yang ditulis oleh Emha Ainun Najib dalam bukunya Sedang Tuhan pun Cemburu. Penyesuaian hidup atas perbedaan budaya, tentu harus menjadi bekal bagi kita, agar bagaimanapun upaya menghormati dan menghargai tetap tertanam. Pun, dalam sebuah dagelan atau lawakan yang dalam konteks "guyonan" perlu ada aturan-aturan tertentu agar dagelan ini bersifat menyatukan, bukan memecahbelahkan.
Di sini saya menjadi teman dekat Anda dalam kehidupan sehari-hari. Kita sudah saling mengenal bagaimana karakter dan pemikiran kita, dan ketika saya memanggil Anda, mohon maaf, Njing, Cuk, Su, Blok, Ndeng, Â maka ini akan menjadi kata pengganti yang mengharmoniskan hubungan persahabatan itu.
 "Eh, Cuk, durung mati ta?" Maka keduanya akan berada di bawah gelak tawa mereka. Menikmati kekonyolan yang sama sekali tidak lucu itu, mungkin.
Dan di lain waktu, aku melihat orang ngelawak, dan kawasan itu sangatlah lucu sekali, gayeng. Lantas, dengan refleks saya tertawa dengan kencang, "Hahahahahahaha Jancok."
Kemudian orang itu datang menghampiri saya, dan menempeleng saya. Â
"Asu."