Mohon tunggu...
Money

Islamic Finance: Berangkat dari Sejarah Menuju Masyarakat Ekonomi Islam

29 Oktober 2016   18:06 Diperbarui: 29 Oktober 2016   18:28 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://1.bp.blogspot.com

                                                                                                                                   

Perkembangan ekonomi Islam dalam satu dekade terakhir cukup menyita perhatian dunia. Bahkan, di beberapa universitas ternama  di negara-negara yang masyarakatnya minoritas muslim seperti Inggris, Switzerland, dan Spanyol sudah membuka program studi Islamic Finance atau Islamic Banking. Ini menandakan bahwa sistem ekonomi syari’ah sudah mulai dilirik sebagai sebuah solusi di tengah kehidupan masyarakat dunia yang dikendalikan oleh sistem kapitalis. 

Fakta ini tentu membuat banyak orang yang bertanya-tanya dan berandai-andai, mengapa baru sekarang ekonomi syari’ah dilirik sebagai sebuah solusi? Jika saja sejak jauh-jauh hari sistem ekonomi syari’ah ini diimplementasikan di negara kita, bukan tidak mungkin kejayaan ekonomi pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz bisa terulang dimana pada saat itu masalah kemiskinan dan kelaparan benar-benar teratasi bahkan didalam sejarah tercatat bahwa saking makmurnya masyarakat ketika itu, tidak ada orang  yang termasuk kategori mustahiq (berhak) untuk menerima zakat.

Sangat menggugah tentunya bahwa ternyata kejayaan Islam di masa silam tidak lepas dari jasa para khalifah dan ulama yang mencurahkan pemikiran mereka untuk menggagas teori sistem ekonomi syari’ah yang berkeadilan lalu kemudian diterapkan secara riil di dalam kehidupan bermasyarakat.

Di dalam sejarah Islam, aktivitas ekonomi yang syar’i sudah dimulai sejak Rasulullah SAW diutus menjadi Nabi. Sejak kecil beliau sering ikut dengan kakeknya, Abdul Mutthalib untuk berdagang ke kota-kota besar di jazirah Arab. Dari pengalaman-pengalaman yang didapatkan dari berdagang bersama kakeknya, Rasulullah kemudian banyak melakukan perbaikan di dalam sistem perdagangan masyarakat Arab pada saat itu dengan member contoh secara langsung. 

Tradisi yang dianggap fasid atau rusak, dianjurkan untuk ditinggalkan dan tradisi yang baik tetap dipertahankan. Rasulullah sendiri membuktikan kesuksesannya menjadi seorang pedagang ketika beliau bekerja sama dengan Khadijah dalam sebuah bisnis perdagangan. Bisnis mereka maju dengan pesat dan mendapatkan keuntungan yang melimpah karena senantiasa menjunjung tinggi nilai kejujuran, memegang teguh prinsip keadilan serta menjaga amanah yang diberikan. 

Hal inilah yang lantas membuat Khadijah jatuh hati kepada beliau. Setelah beliau diangkat menjadi Rasul pada usianya yang ke-40, mulailah dikenal yang namanya zakat dan. Penerapan zakat ini datang sebagai syari’at untuk pemerataan kekayaan, jangan sampai di dalam negara pada saat itu ada orang yang terlampau kaya sedang di sisi lain ada orang yang untuk makan sehari-hari pun susah sebagaimana firman Allah: “...supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu…” (QS Al-Hasyr: 7).

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat dan tabi’in juga turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi Islam. Hal ini ditandai dengan pembangunan baitul maaldi era Abu Bakr As-Shiddiq,yaitu sebuah lembaga yang mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara baik dari pajak maupun zakat.Kemudian ijtihad Umar bin Khattab dalam urusan zakat dan diberlakukannya ‘usyur(pajak bea impor atau yang dikenal dengan bea cukai, dibayarkan sepuluh persen dari harga pokok barang, dikenakan kepada semua pedagang baik muslim maupun kafir, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham). 

Kebijakan ini juga diterapkan oleh Abu Yusuf (113 H – 182 H), seorang Hakim Agung pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid. Ada sedikit perbedaan antara ‘usyur yang berlaku pada zaman Umar bin Khattab dengan ‘usyur yang diterapkan oleh Abu Yusuf yaitu besaran ‘usyur yang ditetapkan oleh Abu Yusuf adalah 10% bagi kafirharbi,5% bagi kafir dzimmi, dan 2,5% bagi pedagang muslim. Abu Yusuf terkenal sebagai seorang yang ahlur ra’yi atau seseorang yang mengedepankan rasio dalam berpendapat seperti gurunya, Abu Hanifah. Salah satu karya beliau yang paling terkenal adalah kitab al-Kharaj (buku tentang perpajakan). 

Penulisan buku ini didasari oleh mandat Khalifah Harun Ar-Rasyid agar Abu Yusuf menulis sebuah buku untuk dijadikan pedoman dalam mengumpulkan kharaj (perpajakan) seperti ‘usyur, jizyah (pajak jaminan perlindungan jiwa) bagi non-muslim yang tinggal di negara muslim, dan lain-lain dari sumber pendapatan negara. 

Dengan demikian, kitab al-Kharaj ini mempunyai orientasi birokratik karena ditulis untuk merespon permintaan Khalifah yang ingin menjadiakannya sebagai buku petunjuk administratif dalam rangka mengelola lembaga baitul maal dengan baik dan benar, sehingga negara dapat hidup makmur dan tidak ada rakyat yang terzalimi. 

Pada masa ini juga, muncul seorang ulama tokoh pemikir ekonomi Islam yang bernama Abu Ubaid (157 H – 224 H) dengan karyanya yang monumental, kitab al-Amwal. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasir ibn Malik, gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga 210 H. 

Kitab al-Amwal karya Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Tidak jauh berbeda dengan kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf, di dalam kitab al-Amwal juga dibahas tentang perpajakan, zakat, fai’ (segala harta kekayaan orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin tanpa peperangan, atau orang-orang kafir melarikan diri karena takut terhadap kaum muslimin, dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, sehingga harta tersebut dikuasai oleh kaum muslimin), dan ghanimah (harta rampasan perang). Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua islam. 

Buku ini juga merupakan suatu ringkasan tradisi asli dari Nabi SAW dan laporan dari para sahabat tentang masalah ekonomi. Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak pada kepentingan publik. 

Abu Ubaid menekankan kepada petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushur, atau zakat untuk tidak memaksa dan menyiksa masyarakat. Di sisi lain, masyarakat seyogianya memenuhi kewajiban finansial mereka secara teratur dan sepantasnya. Pandangan Abu Ubaid ini tidak merujuk bahkan berbeda dengan tingkat kharaj yang ditetapkan oleh Khalifah Umar r. a pada masa kekhalifahan beliau. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih “la yunkaru taghayyiru al-fatwa bi taghayyuril azminati” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun sekali lagi, keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad.

Masih banyak karya-karya ulama lainnya tentang pemikiran ekonomi Islam yang sangat menarik untuk dibahas. Dari sejarah singkat ekonomi Islam pada masa klasik diatas, dapat diasumsikan bahwa, penerapan sistem ekonomi Islam di sektor riil utamanya di bidang zakat bisa menjadi solusi pengentasan kemiskinan di negara kita asalkan mendapat perhatian yang lebih. Pelaksanaan zakat di Indonesia dinilai belum begitu efisien sehingga dampaknya belum bisa dirasakan oleh masyarakat.

 Begitu juga dengan pengelolaan harta wakaf, ada ribuan hektar tanah wakaf yang terlantar dan tidak produktif. Padahal, menurut data yang bersumber dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat dan wakaf bisa mencapai trilyunan jika benar-benar dilaksanakan dengan serius dan disertai dengan kesadaran yang penuh oleh masyarakat muslim. 

Begitu juga dengan sistem keuangan syari’ah yang belum begitu diminati oleh masyarakat muslim. Sebagian besar masyarakat belum bisa meninggalkan sistem keuangan yang mengandung unsur riba karena terlanjur merasa nyaman dengan fasilitas yang ada. 

Oleh karena itu, untuk mewujudkan masyarakat ekonomi syari’ah diperlukan pendekatan yang lebih serius dari pemerintah dan dalam waktu yang sama, kesadaran dari masyarakat itu sendiri juga tidak kalah pentingnya. Hal semacam ini biasa kita sebut dengan istilah top-bottom.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun