ChatGPT sudah seperti Tuhan, melayani jutaan dan mungkin sudah miliaran doa (pertanyaan) tiap detik. Tapi tetaplah ia sebatas perangkat belaka; semacam burung kakaktua yang sudah menonton opera sabun selama jutaan tahun.
Manusia tidak diciptakan sebagai ensiklopedia berjalan, manusia didesain sebagai penyintas (survivor). Ketika seorang bani Adam ditemukan tergeletak di tengah pulau kosong bersama robot humanoid Sophia yang super cerdas itu, dalam keadaan keduanya kehilangan daya ingat, maka Sophia segera lumpuh total, ketika seluruh memorinya lenyap.
Tapi manusia yang dibekali kesadaran (consciousness) sebagai inti dari kemanusiaannya, akan bangkit dan mencari akal untuk selamat, meski ia telah kehilangan seluruh memori dalam hidupnya.Â
Ini yang pernah terjadi pada Krickitt Carpenter yang kisahnya difilmkan dengan judul "The Vow" atau Scott Bolzan, seorang multitalenta yang terhapus seluruh memorinya, akibat kecelakaan kecil. Ia lalu menulis memoar: My Life, Deleted, sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukan oleh Sophia, biar pun sebelumnya ia maha cerdas (dapat kita saksikan di YouTube).
Sehebat apapun ChatGPT atau dewa bahasa lainnya yang digerakkan oleh kecerdasan buatan, mereka tetaplah makhluk tempo dulu, yang seluruh kecerdasannya didatangkan dari algoritma big data masa lalu sebelum mereka dihidupkan.
Ketika Artificial Intelligence (AI) bisa memprediksi masa depan, itu karena sistem sosial repetitif yang terjadi akibat kekakuan pola hidup serta algoritma natural manusia dan semesta. Deep Blue bisa mengalahkan pecatur dunia Garry Kasparov karena mesin ini telah mengantongi semua langkah permainan catur yang kemungkinan besar akan dilakukan Kasparov.
AI bekerja berdasarkan algoritma yang telah diprogram sebelumnya, dan tidak bisa keluar dari itu, sedangkan manusia memiliki imajinasi, kreativitas, empati, penalaran moral, fleksibelitas, dan intuisi.
Ketika misalnya, AI berhasil merepro The Night Watch (1642) sebuah lukisan raksasa karya Rembrandt van Rijn yang paling terkenal itu, justru yang mendapat pujian  adalah kreator di belakangnya; Robert Erdmann, seorang ilmuwan senior yang bekerja di Rijksmuseum.
Manusia bisa menerobos masa depan dan tetap bisa survive dalam ketidakpastian apapun, bahkan ketika ingatannya terhapus seluruhnya. Menjadi tidak tepat jika hanya mengukur kualitas manusia melalui ingatan-ingatan baku, kurikulum, silabus, dan kalkulator biologis yang ada di otak mereka.