Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Robin Hood dalam Tubuh Demokrasi Kita

6 Juli 2022   22:08 Diperbarui: 8 Juli 2022   11:02 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wallpaperbetter.com

Sampai tulisan ini habis dibaca, mungkin ada yang bertanya, apa yang lebih barbar dari kerja-kerja menggemukkan kantong pejabat dari laci negara?

Di samping cara ganas dengan tabiat korup dan main proyek, cara sopan dan aman untuk merampas uang rakyat adalah memperbesar gaji dan segala fasilitas para pejabat dan petinggi perusahaan plat merah dengan membungkusnya lewat regulasi dan utak-atik angka secara memuakkan.

Mereka tak ubahnya seperti pemangsa puncak (apex predators) di kelasnya bersama kawanan oligark dengan paruh yang besar-besar dan anehnya tak pernah robek, sebanyak apapun muatannya.

Tapi bagaimana jika uang rampokan itu tidak dibawa pulang semuanya, namun dibagi lagi kepada jelata, memperlebar ruang kebahagiaan, mencukupi kebutuhan orang kecil. Adakah Robin Hood di antara mereka, apakah pahlawan bertopeng itu nyata?

Ini akan sama sekali berbeda. Robin Hood adalah bangsawan yang menjadi musuh pejabat korup, merampok uang mereka dan membagi hasilnya untuk orang miskin. Bagaimana jika mereka berkepribadian ganda, sebagai Robin Hood dan pejabat korup dalam satu tubuh. Mereka merampok diri sendiri lalu memberinya kepada fakir.

Alih-alih mendapatkan pahlawan bertopeng di malam buta, mereka membawa selusin kameramen dengan wajah paling terekspos dan senyum palsu. Tapi justru ini lebih baik, dari pada tidak terjadi apa-apa.

Lewat utilitarianisme, Jeremy Bentham dan John Stuart Mill hampir menyampakkan cara-cara apa yang dilakukan, asal itu bertujuan untuk mempromosikan kebahagiaan bagi banyak orang. Filosofi etik cara ini, dengan aksioma yang melekat padanya bahkan membungkam tindakan-tindakan baik namun hanya berujung kepada kegetiran.

The creed which accepts as the foundation of morals utility, or the greatest happiness principle, holds that actions are right in proportion as they tend to promote happiness, wrong as they tend to produce the reverse of happiness, kata pak John S. Mill.

Dengan demikian tidak menjadi penting untuk datang sebagai pahlawan bertopeng, filantropis dengan alter ego, atau politikus anggun. Seorang legislator yang baru saja turun dari gedung rakyat dengan kantong menggelendut dan hampir koyak, mendatangi rakyat yang telah memilihnya, menghambur-hamburkan uang itu ke udara, agar mereka bisa membeli beras, paling tidak dapat menjadi contoh yang baik dalam aksioma utilitarianisme, meskipun mereka tidak mengatakan yang sebenarnya.

Secara kasat mata, moral etik pada paham ini mengaduk-aduk antara idealisme dan pragmatisme, normatif dan positif, das sollen dan das sein. Sebuah tindakan atau pragma diukur berdasarkan tingkat kemanfaatannya, serta mengabu-abukan semacam filsafat kebenaran atau yang berkaitan dengan metafisis dan dogma.

Lepas dari itu, filantropis Andrew Carnegie (1835-1919) pernah bilang, jika Anda ingin kehormatan, matilah dengan harta yang telah dibagikan kepada khalayak ramai, untuk kemanusiaan. Jika Anda mati dan masih kaya, Anda sangat tercela.

Apakah perspektif utilitarianisme dapat memberikan jalan tengah, dengan pengharapan penuh, bagi barang siapa yang telah menguras lemari besi milik negara secara seolah-olah baik atau kotor, namun hanya demi pemuasan hedonistik diri dan kerabat, mempertebal lipstik istri, bertamasya membeli barang-barang mewah di Eropa dan berlagak seperti sultan atau pebisnis sukses, mereka telah mempersempit ruang lingkup kebahagiaan, dan menggantinya dengan kegetiran, apa yang pantas bagi mereka hanyalah kutukan, sampai uang itu mengalir ke lubang-lubang kemiskinan.

Dengan tetap mengamati cara banal demokrasi elektoral dan aneka atraksi akrobat untuk memungut suara rakyat, ada rezeki musiman yang mengalir kepada pemakai kaos-kaos partai, pekerja atribut pemilu, penunggu serangan fajar, dan tukang hore-hore yang disiram air saat kampanye setelah diangkut dengan truk-truk besar ke tengah lapangan penuh janji. Triliunan rupiah mengalir sampai jauh di musim pesta demokrasi, dari para toke dan politisi borjuis.

Belum lagi pemerintah dengan senyum dikulum tak pernah merasa terbebani sedikit pun menerjunkan dana sebesar tiga kali lipat dari musim pemilu sebelumnya (Rp 76,6 triliun), yang tentu saja disambut adu gelas para penyelenggara dan wasit pemilu.

Uang sebesar ini mesti lepas dari genggaman para predator puncak atau dialihkan untuk biaya politik terselubung, ia harus mengalir kepada rakyat lapisan paling bawah yang terlibat dalam perbagai program padat karya sempena pemilu dan menggiring mereka ke kotak suara dengan wajah yang gembira.

Intinya, ribuan triliun uang rakyat dalam neraca negara (saya sengaja berkali-kali mengulang kata 'rakyat', agar terminologi demokrasi tidak sebatas trademark) harus dapat dimaksimalkan untuk memperluas ruang kebahagiaan, menambah senyum di bibir rakyat. Jika hanya bertumpuk di saku predator, biarkan panah Robin Hood yang bekerja. You know it's true. Everything I do. I do it for you. ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun