Begitu menapakkan kakinya di bumi Nusantara, Franciscus Xavierus, misionaris besar Portugis yang pernah datang ke Tanah Air segera menjalankan misinya. Namun tidak ada bahasa pengikat paling cair dan terstruktur yang dapat diserap dengan cepat oleh penduduk lokal bahkan di gugus paling timur, Ambon, Ternate, dan Halmahera, selain bahasa Melayu.
Menurut catatan Arthur Hyman dalam Philosophy in The Middle Ages: The Christian, Islamic, and Jewish Traditions (New York: Harper & Row, Publishers), sepanjang 1546 hingga 1547, Xavierus telah menyebarkan Katolikisme di antara penduduk bagian timur Nusantara tersebut dengan menerjemahkan buku Credo, Confession Generalis, Pater Noster, Ave Maria, Salve Regina, dan Sepuluh Perintah Tuhan ke dalam bahasa Melayu.
Kitab-kitab berbahasa Melayu ini sepertinya telah lebih cepat puluhan tahun ketika Hamzah Fansuri (1589--1604) menulis Syair Burung Pungguk atau prosa Asrar al-Arifin di bagian paling barat pulau Sumatra. Justru tinggalan manuskrip Hamzah Fansuri, terus menjadi pegangan empiris para pakar Bahasa dalam cakap-cakap superfisialitas tentang asal mula Bahasa (Melayu) Indonesia.
Telah disaksikan oleh dunia di abad pertengahan, bahwa Melaka yang berbahasa Melayu telah menjadi episentrum ekonomi rempah global bahkan sebelum Eropa menurunkan ekspedisinya. Melaka disebut Tome Pires (1515) mampu mengalahkan gemerlap Venezia, sebuah bandar dagang dunia paling historical tempat Marco Polo dilahirkan. Melaka adalah etalase bagi jantung perkebunan rempah Maluku. Kemiripan nama antara keduanya bisa saja menjadi enigma.
Ini adalah soal tumbang dan tumbuhnya sebuah imperium. Ketika rezim baru bangkit -biasanya melalui revolusi- maka ia dengan sendirinya akan mengubah semua peradaban mencakup hukum, budaya, bahasa, dan sistem finansial. New World Order adalah titik nol kilometer dengan pembersihan Tatanan Dunia Lama.
Dibanding betapa kecilnya peta Eropa, bahasa Melayu kala itu telah menjelajah lebih luas dari apa yang pernah berlangsung atas Bahasa Inggris. Tapi sejarah selalu ditulis oleh pemenang, sementara Melayu berada di luar atau tidak dicatat sebagai pelaku dalam siklus Tatanan Dunia Baru (New World Order) atau Novus Ordo Seclorum.Â
Saya ingin menjauhkan istilah ini dari Teori Konspirasi yang berkaitan dengan Illuminati dan Fremasonry atau ramalan akhir zaman dan kemunculan Dajal. Tatanan Dunia Baru di sini adalah tentang pola berulang atau siklus dalam bentukan peradaban dunia.
Ini adalah soal tumbang dan tumbuhnya sebuah imperium. Ketika rezim baru bangkit -biasanya melalui revolusi- maka ia dengan sendirinya akan mengubah semua peradaban mencakup hukum, budaya, bahasa, dan sistem finansial. New World Order adalah titik nol kilometer dengan pembersihan Tatanan Dunia Lama.
Seperti dipetakan oleh Ray Dalio, penulis buku The Changing World Order. Ia telah meneliti periode ekonomi dan politik paling bergejolak dalam sejarah untuk mengungkapkan mengapa zaman di depan kita kemungkinan besar akan sangat berbeda dari yang pernah kita alami dalam hidup. Dan untuk menawarkan saran praktis tentang cara menavigasinya dengan baik, Dailo berhasil mengidentifikasi metrik dari sejarah itu yang dapat diterapkan untuk dipahami hari ini.
Pola New World Order, terjadi secara pasti dan berulang setiap 100 tahun sekali dengan masa transisi 40 tahun, dan dalam pengamatan siklus besar selama tiap 500 tahun. Dimulai dari bangkitnya imperium, kerajaan atau negara baru yang keluar sebagai pemenang dalam sebuah kompetisi global.
Kekuasaan lama yang redup akan bersamaan dengan munculnya kekuatan baru di belahan dunia lain. Sistem ini berjalan otomatis seperti rotasi bumi, dan kita harus tahu di fase mana kita sedang berada. Kita harus siap, atau akan mengalami kejut budaya dalam tidak lama lagi.
Ketika Alexander membangun imperiumnya, tatanan dunia baru kala itu berbau Yunani. Dilanjut dengan periode Helenistik, ketika separuh dunia menggunakan budaya, bahasa, dan pola pikir orang Yunani. Demikian pula pada periode Romawi, Khilafah Ottoman, hingga sampai di ambang periode modern dengan kemunculan Kerajaan Spanyol di abad 16.
Spanyol telah merampas emas dan perak dunia, dan pada 1521 mereka telah menjangkau Maluku. Periode selanjutnya pada 1851 Belanda sebagai bekas jajahan Spanyol bangkit dan mengambil alih semuanya sebagai penguasa tatanan dunia baru kala itu, dengan VOC sebagai perusahaan publik dan multinasional terbesar di dunia. Â Maka bahasa dan budaya Belanda serta mata uang Gulden ikut menjadi penguasa dunia.
Pada 1800-an giliran Belanda yang merosot, karena dibantai oleh Britania. Inggris adalah kekuatan dominan selanjutnya. Di sini dapat terlihat bahwa peran bahasa Inggris sebagai Lingua Franca di bagian Asia telah didahului selama 300 tahun oleh bahasa Melayu.
Di gerbang 1900-an, Inggris makin menjadi-jadi dengan tampil sebagai pemenang Perang Dunia I. Bahasa Inggris pun mulai tampil di panggung dunia, dan tentu saja diikuti dengan Pound Sterling sebagai mata uang nomor satu berikutnya.
Inggris mulai bangkrut menjelang Perang Dunia II ketika Jerman dan Amerika Serikat segera melompat ke panggung dunia. Dan Amerika lah yang menjadi pemegang tampuk New Word Order terakhir yang dapat kita lihat hingga hari ini, dimulai dengan munculnya Dolar sebagai kekuatan uang baru, disusul militer dan perdagangan, industri hiburan, dan tentu saja bahasa Inggris Amerika.
Dalam 100 tahun sebuah siklus tatanan dunia, kini Amerika sedang menghadapi senjakala. Dan di saat bersamaan China muncul sebagai pemain baru. Secara tak terhindarkan, menjelang berakhirnya satu abad masa keemasan Amerika, dunia harus bersiap menghadapi sebuah tatanan yang serba China.
Sebuah kekuatan besar yang kita sembunyikan ada pada bahasa yang menghimpun Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai, Mindanao Filipina dan Thailand Selatan: Bahasa Melayu. Apa yang kemudian dapat kita lakukan dengan (hanya) ini?. ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H