Jika sultan tidak ditabalkan dengan Cogan, maka ia bukan sultan. Cogan adalah salah satu alat kebesaran atau regalia Kerajaan Riau Lingga, Johor dan Pahang yang paling epik dalam sejarah. Berupa tombak dan sirih besar sebagai simbol magis dan mitos-mitos keseimbangan kosmos, serta kunci mati bagi legitimasi daulat para raja Melayu.
Yang menarik di sini adalah istilah regalia atau disebut juga insignia. Sebab kata ini diimpor dari Eropa khususnya Inggris, meski belum begitu populer pada masyarakat Melayu Kepulauan Riau seperti saat ini. Regalia berasal dari regalis dalam bahasa Latin yang berarti megah. Merupakan simbol atau emblem yang melekat pada penguasa berdaulat.
Dalam Inggris, regalia didefinisikan sebagai:Â the emblems or insignia of royalty, especially the crown, scepter, and other ornaments used at a coronation. Sebagai lambang atau lencana kerajaan, terutama mahkota, tongkat kerajaan, dan ornamen lain yang digunakan pada penobatan.
Regalia juga dapat diartikan sebagai pakaian khas yang dikenakan dan ornamen yang dibawa pada acara-acara resmi sebagai indikasi status. Seperti penyebutan "Uskup Florence dengan regalia penuh". Dalam kekinian regalia acap kali dilekatkan kepada jubah lengkap wisuda yang menyertai toga.
Penggunaan istilah asing yang dipautkan dengan perbendaharaan bahasa Melayu telah berlangsung sejak lama, dan bisa dibilang ikut mendominasi sebagian besar tubuh bahasa kita.Â
Satu hal lagi yang juga menarik adalah lambang pada Kerajaan Riau Lingga yang menyalin dengan sempurna dalam bentuk siluet dari lambang Kerajaan Belanda (Coat of Arms Netherlands). Simbol Singa Nassau yang dipilih dan diadopsi dari lambang Keluarga Orange-Nassau tersebut telah diislamkan dengan mengganti tubuh singa, serta mahkota dan perisai di tengahnya dengan kaligrafi Arab, untuk kemudian menjadi Coat of Arms of Riau-Lingga Sultanate.
Kita tahu, habitat singa hanya ada di Afrika dan sebagian kecil Asia, hampir mustahil ada singa di Nusantara apalagi di Kepulauan Riau, yang kemudian dapat menginspirasi sebuah simbol. Bahkan di Eropa sendiri, lambang singa di banyak negara seperti Inggris (singa dan kuda unicorn), Belanda, dan Georgia misalnya  pernah diperdebatkan.
Ketika Inggris merancang lambang negaranya pada abad ke-12, mereka sama sekali belum pernah melihat singa dengan surai (Panthera Leo), karena ekspedisi imperialisme baru dimulai abad ke-16. Sebuah teori menyebutkan, hal ini erat kaitannya dengan migrasi Sapiens dari Afrika ke Eropa dan meninggalkan jejak patung manusia berkepala singa di Jerman.
Berbeda dengan Kota Malang yang secara historis berkelindan dengan Kerajaan Singasari. Singa di wilayah ini menjadi mitos kekuatan yang diabadikan pada relief candi Jago. Lambang resmi Stadsgemeente Malang pada tahun 1937 terlihat amat mirip dengan versi Kerajaan Belanda, hanya berbeda sedikit pada gambar singa yang ada di tengah perisai, dengan mahkota tanpa salib.
Lambang negara Singapura juga terdapat sedikit modifikasi, tidak terlihat mahkota di atas perisai, dan diapit oleh tidak hanya singa tapi juga harimau (bandingkan dengan Malaysia yang ditopang dua harimau). Pada bagian perisai berwarna merah tersebut terdapat lima bintang dan bulan sabit  putih.
Melayu sejak fajar sejarah dinastinya jauh sebelum imperialisme Eropa, telah mengangkat Raja Macedonia, Yunani Alexander The Great dan atau Iskandar Zulkarnain, atau Zulkarnain dalam versi Islam sebagai bapak moyang para sultan Melayu yang konon turun dari Bukit Siguntang.
Sang Nila Utama sebagai teraju utama mitos penemuan singa di Singapura dan Stamford Raffles dari Britania yang juga berlambang singa, agaknya tidak cukup kuat untuk mengusir Harimau Malaya dari singgasana mitologi negara ini. Â
Sekarang kita beralih ke pakaian kebesaran yang pernah digunakan, misalnya pada jejak potret Sultan Abdurrahman II dan Raja Ali Kelana. Blazer yang dikenakan Sultan Abdurrahman terlihat menyerupai Seragam Pejabat  Sipil (A Civil Dignitary Uniform-1889-1908) dari Portugal.
Sedangkan Raja Ali Kelana tampak sangat identik dengan Tunik Hussars Rusia, seragam Jenderal 1906 (Imperial Russian Hussars Tunic - Generals Uniform 1906). Potret Sultan Sulaiman Badrun Alamsyah pula mirip dengan busana-busana pria pada koleksi fotografer Prancis, Gustave Le Gray (1820-1884).
Fakta-fakta tersebut mengingatkan bahwa Melayu masa silam adalah bagian dari masyarakat global, inklusif, up to date, dan kebarat-baratan (tidak dalam makna peyoratif untuk melabel generasi muda sekarang).
Melayu sejak fajar sejarah dinastinya jauh sebelum imperialisme Eropa, telah mengangkat Raja Macedonia, Yunani Alexander The Great dan atau Iskandar Zulkarnain, atau Zulkarnain dalam versi Islam sebagai bapak moyang para sultan Melayu yang konon turun dari Bukit Siguntang.
Meskipun pada abad-13 ketika sejarah Kesultanan Melayu bermula, ada jarak 1600 tahun untuk sampai ke Alexander The Great yang dilanjut dengan era Helenistik, namun semangat untuk menjadi bagian dari sejarah dalam skala global, sudah dipikirkan oleh orang-orang dahulu.
Upaya untuk memencilkan Melayu hari ini hanya pada episentrum atau lokus tertentu dengan tinjauan yang sempit baik secara spasial maupun inheren, serta abstraksi empiris yang terkunci dari dalam, agaknya sudah kurang relevan di abad blockchain dan nirbatas seperti hari-hari ini. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H