Realita yang tidak dapat dijelaskan dengan matematika, bukanlah realita. Jika pun realita belakangan ini dianggap hanyalah simulasi, simulasi adalah program komputer, yang juga merupakan jenis objek matematika.
Tentang seluruh realita yang disusun secara matematika adalah iman bagi penganut Pythagorasisme yang lahir dari seorang filsuf Pythagoras (570 SM - 495 SM). Bahwa matematika tidak diciptakan, ia hanya ditemukan.
Matematika seperti kata Galileo adalah bahasa universal Tuhan kepada semesta, tidak hanya kemudian ditemukan oleh manusia, tetapi juga serangga, gelembung sabun, umur embrio, mesin pembakaran, cincin Saturnus hingga galaksi.
Plato bahkan melompati postulat ini, baginya objek matematika juga ada di luar ruang dan waktu. Namun pandangan seperti itu hanya memperdalam misteri bagaimana matematika menjelaskan sesuatu.
Dalam catatan Sam Baron, dekade terakhir ini dua fisikawan telah meningkatkan pertahanan signifikan terhadap posisi Pythagoras: kosmolog Swedia-AS Max Tegmark dan fisikawan-filsuf Australia Jane McDonnell.
Tegmark berpendapat bahwa realitas hanyalah satu objek matematika yang besar. Sedangkan McDonnell berpandangan, realitas hanya dibentuk oleh matematika dan pikiran.
Nama Pythagoras pada zaman kuno dikaitkan dengan pelbagai penemuan matematika dan ilmiah, seperti teorema Pythagoras, lima bangun ruang, teori kesebandingan, teori bumi bulat, dan gagasan bahwa bintang timur dan barat adalah planet yang sama, yaitu Venus.
Teorema Pythagoras ditulis dalam kitab suci para pengikutnya. Ironis, meski realita adalah matemetika _yang telah lama ada di luar pikiran sejak awal waktu_ terlepas apakah Pythagoras menemukannya atau tidak, namun sabda tentang matematika hanya boleh keluar dari mulut Pythagoras.
Iman seperti ini mampu membunuh. Hippasus, seorang murid brilian Pythagoras harus membayar dengan nyawanya. Ia dituduh telah menyebar bid'ah. Hippasus berhasil menemukan bilangan irasional.
Alasan untuk membunuh terlalu sepele, hanya karena eksistensi bilangan irasional bertentangan dengan kepercayaan para pengikut Pythagoras saat itu. Padahal dia lah yang telah menyembuhkan cacat pada teorema Pythagoras.
Kesetiaan ekstrem para pengikut Pythagoras ini di belakang hari dikenal sebagai Chauvinisme. Istilah ini kemudian mengalami perluasan makna hingga ke ultranasionalisme dan bias gender. Intinya sikap ini berpunca dari menolak pandangan alternatif apapun.
Pythagoras tidak menemukan cara untuk membantah pembuktian Hippasus ini, namun keberadaan bilangan irasional telah bertentangan dengan filosofi yang dianut olehnya. Hal ini menimbulkan murka para fanatik ajaran Pythagoras.
Mereka menilai penemuan Hippasus telah mengolok-olok hukum mutlak bahwa semua bilangan adalah rasional. Hippasus dikutuk mati oleh sejawatnya sebagai pembawa ajaran sesat.
Spekulasi tentang kematian Hippasus yang popular adalah, para pengikut Pythagoras menenggelamkan Hippasus bersama temuannya ke laut saat melakukan pelayaran di samudra, lalu mereka bersumpah untuk merahasiakan keberadaan bilangan irasional tersebut.
Kesetiaan ekstrem para pengikut Pythagoras ini di belakang hari dikenal sebagai Chauvinisme. Istilah ini kemudian mengalami perluasan makna hingga ke ultranasionalisme dan bias gender. Intinya sikap ini berpunca dari menolak pandangan alternatif apapun.
Chauvinisme merujuk kepada sosok pria asal Perancis (1839) bernama Nicolas Chauvin, prajurit Grand Armee Napoleon, yang mengidolakan Napoleon Bonaparte dan kekaisaran lama.
Pedang Kehormatan dan uang pensiun 200 Franc sebagai imbalan yang ia dapatkan dari Napoleon ditebus dengan terluka 17 kali dan cacat parah. Konon Chauvin berakhir sebagai veteran menyedihkan dengan bertubi-tubi ejekan dalam Restorasi Prancis, ketika Bonapartisme yang ia sembah menjadi semakin tidak populer. ~ MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H