"Pekerjaan saya sudah selesai. Mengapa menunggu lagi?". Pria tua di atas kursi roda menulis pesan ini di atas secarik kertas, sebelum menghabisi hidupnya dengan satu tembakan.
George Eastman (12 Juli 1854 - 14 Maret 1932) bukan pria acak, ia adalah penemu Kodak dan nabi dalam dunia fotografi. Tersembunyi di balik personanya, ia punya jiwa yang rapuh.
Depresi menahun di atas kursi roda dari nyeri tak tertahankan akibat menderita penyumbatan sumsum tulang belakang, baginya adalah semacam rol film yang harus digunting. Tidak ada alasan untuk tetap ada.
Edwin Armstrong seorang insinyur listrik Amerika penemu radio FM menjatuhkan tubuhnya dari lantai 13 sebuah apartemen di tahun 1954 dalam usia 63 tahun. Ia dituduh memusuhi radio AM, dan berpikir bahwa radio FM akan gagal selamanya. Depresi lalu bunuh diri.Â
Dunia mencatat daftar pemikir hebat yang memilih mati karena depresi. Di antaranya Alan Turing, Wallace Carothers, Nicolas Leblanc, Edwin Armstrong, dan Viktor Meyer.
Alan Turing terlalu dramatis, ia makan apel sianida di puncak depresinya, sebagai pria penyuka sejenis yang dihukum kebiri kimia dan berefek pada pembesaran payudara.
Akhir yang berat dapat dianggap manusiawi. Apalagi rerata dari mereka hidup di jalan sains. Sains yang egois dan berupaya menyepak dogma dan semua sistem kepercayaan yang menghalangi jalannya.
Prof. Paul Ehrenfest seorang ilmuan agnostik gagal menjumpai Tuhan di makmal manapun, dan berpikir untuk menempuh jalan kematian bagi menyudahi eksprimen ketuhanannya. Ia tak pernah kembali.
Ada tiga simpul utama kehidupan: agama, filsafat, dan sains. Sains dapat berlari secepat The Flash tanpa melihat kiri dan kanan. Ego dan tak peduli. Tapi filsafat dapat berlaku seperti Superman, ia bahkan lebih cepat dan lebih bijak.
Filsafat ingin merangkul agama (sebut saja seperti maha dewa Odin dari Asgard) dan sains untuk berjalan seiring. Seperti Einstein bersabda, sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta. Einstein tak terlalu didengar, apalagi dia seorang agnostik.