Pada tahun 2200 teknologi sudah menyediakan segalanya berkat fusi nuklir yang memberikan energi tanpa batas secara gratis. Ini yang membuat tiap individu di masa itu mendapatkan kebutuhan mereka secara gratis selamanya.
Dilengkapi dengan terhubungnya manusia dalam digital ID tanpa anonim serta distribusi kekayaan adil merata, maka manusia kehilangan pikiran untuk bertindak kriminal. Manusia kehilangan minat dan ruang untuk berkompetisi. Tidak ada social climbing dan narsisme terselubung.
Basis kuantum komputer yang maha yang dapat menjalankan seluruh sistem di dunia utopia akan aktif sepenuhnya. Manusia menjadi setara dan hanya fokus mengejar mimpi dan fantasi masing-masing. Manusia dan semesta telah terhubung secara nirkabel dengan semua kebutuhan, dan fantasi mereka.
Saat itu manusia tidak lagi dilahirkan, rekayasa biologi dapat menciptakan embrio di luar tubuh, dengan membuang semua potensi cacat, penyakit, dan penuaan. Bahkan tubuh dan wajah manusia dapat dipesan secara costum. Tak ada lagi iri dan dengki oleh ketampanan, kecantikan serta popularitas. Tidak ada lagi idola dan kultus individu.
Di luar semua itu, lewat neuroscience manusia dapat menciptakan pengalaman pribadi lewat sensasi dan imajinasi apapun untuk menjadi sultan, pecinta sejati, pahlawan bertopeng atau manusia mutan. Manusia dapat meng-klik konsep surga macam apa yang mereka dambakan.
Tapi utopia itu akan menjumpai paradoksnya. Manusia tidak lagi punya harapan, mereka tidak melewati proses untuk hasil yang mereka dambakan, semua menjadi bebas nilai. Nilai yang diperoleh dari kelangkaan, keterbatasan, dan proses yang sulit.
Seorang ibu tidak lagi merasakan kebahagiaan dari bayi yang ia dapatkan dalam masa payah kehamilan dan sakit persalinan. Seorang pria dapat men-download istrinya dengan sekali klik lalu mencetaknya dengan printer 3 D.
Tidak ada pahlawan keluarga, tidak ada medali bagi sang juara. Tidak ada toga dan regalia wisuda. Manusia dapat memesan level dan volume kecerdasannya sendiri-sendiri jika itu masih dibutuhkan.
Singkatnya manusia akan kehilangan rasa bangga dan kepuasan batin, karena mereka tidak melalui proses pencapaian apapun yang dapat dipamerkan lewat media sosial.Â
Ketika manusia kehilangan harapan, nilai hidup, sensasi dari proses perjuangan hidup dan seterusnya, manusia dalam sekejap akan iri dengan kehidupan kita sekarang yang selalu dipenuhi energi, spirit, dan emosi untuk tetap eksis.
Tapi bukankah mereka dapat memesan paket kehidupan virtual, menjadi seorang papa yang berakhir sebagai crazy rich, memasuki perjalanan seorang budak belian hingga menjadi sultan, ekspedisi mengelilingi bumi dengan baling-baling bambu, merayapi pencakar langit bagai Spiderman yang berhasil menyelamatkan Gwen. Paradoks utopia? ~MNT