Interaksi di antara kita adalah tentang kesepakatan dari sedikit teka-teki yang sudah terjawab. Jawaban dari teka-teki adalah teka-teki, karena misalnya tidak ada bukti bahwa warna yang kita lihat akan persis sama dengan yang orang lain lihat. Ini adalah kesepakatan tentang warna hijau, biru atau jingga.
Kata Sigmund Freud, bahkan jika semua bagian dari suatu masalah tampaknya cocok satu sama lain seperti potongan teka-teki jigsaw, orang harus ingat bahwa kemungkinan tidak harus kebenaran dan kebenaran tidak selalu mungkin.
Bagaimana jika dunia ini tidak ada saja? Karena syarat untuk mengatakan bahwa dunia ternyata ada, adalah kesadaran (awareness) kita, yang tersimpan dalam cangkang yang rapuh.
Sains dan teknologi datang sebagai alat penjawab teka-teki di semesta ini. Setidaknya kita sadar bahwa kita tidak sendirian di sehimpun kosmos ini, kita hanya pencilan paling pelosok hanya untuk satu dari sekian miliar galaksi.
Bagaimana jika dunia ini tidak ada saja? Karena syarat untuk mengatakan bahwa dunia ternyata ada, adalah kesadaran (awareness) kita, yang tersimpan dalam cangkang yang rapuh.
Suatu masa, kesadaran kita bisa dihapus, diedit, disalin, bahkan dipindahkan. Kita bermegah-megah dengan kesadaran yang sebenarnya lembik. Bila kesadaran kita terhapus, tidak lagi menjadi penting apakah dunia ada atau tidak.
Beberapa orang memegang sekeping puzzle, lalu mengatakan bahwa dia telah mengenggam dunia dengan segala teka-teki di dalamnya secara terjawab atau pun tidak.
Beberapa lagi tidak memegang kepingan puzzle apapun, dan menganggap bahwa semua teka-teki telah terjawab atau akan segera terjawab. Lalu menjalani hidup dalam ritual hampa.
Taruhlah kita lahir untuk diuji dan akan diadili di mahkmah Tuhan kelak? Untuk apa kita diuji, bagaimana jika tidak diuji saja: kita tidak lahir. Apakah Tuhan harus ada agar kita bisa diuji, apakah kita harus ada agar Tuhan bisa menguji?
Untuk apa ujian? Apakah Tuhan butuh mainan, dan mengabaikan bahwa dengan sifat ketuhanan-Nya membuat Dia pasti tahu hasil akhirnya.
Tuhan sangat berteka-teki, dan kita terkapar kedinginan dalam kedunguan, lalu mencari kehangatan dalam selimut iman. Kita melarikan diri dari kejaran makna dengan memakai logika terbalik: semakin bertanya dianggap semakin dungu.