Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Dunia Ini Harus Ada, Bagaimana Jika Tidak Ada Saja?

29 Oktober 2021   20:00 Diperbarui: 29 Oktober 2021   20:02 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wallpaperflare.com

Adakalanya kita bertanya mengapa dunia ini harus ada? Bagaimana jika tidak ada saja? Mengapa kita dikirim ke bumi dan hidup terpencil sendirian di keluasan super galaktik ini.

Kadang ada baiknya sendirian di sini, di planet sekecil ini, agar sejuta atau semiliar, atau setriliun teka-teki di jagat ini tidak menimpa kepala kita sekaligus.

Dengan tinggal di bumi, kita punya alasan untuk menjawab hanya sedikit teka-teki, kita hidup di bawah ilusi, bias optik, delusi, fatamorgana, dan sistem kepercayaan dalam skala kecil. Kecil sekali sebenarnya.

Kadang-kadang kita lebih selalu melewatkan teka-teki itu. Dunia mungil enigmatik ini kita jalani sebegitu saja secara robotika dan repetitif.

Meminjam istilah Prof. Yusmar Yusuf perihal existensial neurosis:  ketidakbahagiaan yang disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai makna.

Mungkin di antara kita memilih mempertahankan kebahagiaan dengan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, yang lebih menyedihkan bahkan tidak tahu jika pertanyaan itu ada, atau tidak usah ada.

Bagaimana jika dunia ini tidak usah ada saja? Bila kita hanya berkumpul dan ke sana ke sini, dalam batas kedunguan yang sama. Sekeliling kita adalah teka-teki, kita dipeluk teka-teki.

Tuhan pun bukan soal dogma belaka, tapi juga enigma. Tuhan datang sebagai teka-teki. Lalu kita merasa telah menjawab teka-teki Tuhan dengan tepat, untuk menepis siapapun yang tak dapat menjawab teka-teki itu.

Adalah teka-teki mengapa Tuhan datang sebagai teka-teki. Bahkan kita tak punya opsi untuk memilih di wilayah teka-teki yang mana dan dari rahim teka-teki siapa untuk persis dianggap dapat menjawab teka-teki Tuhan.

Bahkan kita tidak menjawab teka-teki itu, kita hanya penyalin kunci jawaban teka-teki baku yang terus disalin sejak dulu kala. Lalu lupa bahwa kita hanya penyalin bukan perenung. Tapi kita justru merasa sebagai pemenang kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun