Adakalanya kita bertanya mengapa dunia ini harus ada? Bagaimana jika tidak ada saja? Mengapa kita dikirim ke bumi dan hidup terpencil sendirian di keluasan super galaktik ini.
Kadang ada baiknya sendirian di sini, di planet sekecil ini, agar sejuta atau semiliar, atau setriliun teka-teki di jagat ini tidak menimpa kepala kita sekaligus.
Dengan tinggal di bumi, kita punya alasan untuk menjawab hanya sedikit teka-teki, kita hidup di bawah ilusi, bias optik, delusi, fatamorgana, dan sistem kepercayaan dalam skala kecil. Kecil sekali sebenarnya.
Kadang-kadang kita lebih selalu melewatkan teka-teki itu. Dunia mungil enigmatik ini kita jalani sebegitu saja secara robotika dan repetitif.
Meminjam istilah Prof. Yusmar Yusuf perihal existensial neurosis:Â ketidakbahagiaan yang disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai makna.
Mungkin di antara kita memilih mempertahankan kebahagiaan dengan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, yang lebih menyedihkan bahkan tidak tahu jika pertanyaan itu ada, atau tidak usah ada.
Bagaimana jika dunia ini tidak usah ada saja? Bila kita hanya berkumpul dan ke sana ke sini, dalam batas kedunguan yang sama. Sekeliling kita adalah teka-teki, kita dipeluk teka-teki.
Tuhan pun bukan soal dogma belaka, tapi juga enigma. Tuhan datang sebagai teka-teki. Lalu kita merasa telah menjawab teka-teki Tuhan dengan tepat, untuk menepis siapapun yang tak dapat menjawab teka-teki itu.
Adalah teka-teki mengapa Tuhan datang sebagai teka-teki. Bahkan kita tak punya opsi untuk memilih di wilayah teka-teki yang mana dan dari rahim teka-teki siapa untuk persis dianggap dapat menjawab teka-teki Tuhan.
Bahkan kita tidak menjawab teka-teki itu, kita hanya penyalin kunci jawaban teka-teki baku yang terus disalin sejak dulu kala. Lalu lupa bahwa kita hanya penyalin bukan perenung. Tapi kita justru merasa sebagai pemenang kebenaran.