Orang dulu kala memilih perang karena begitu banyak ruang kosong dan jalan buntu. Tidak ada cara diplomasi elegan dan ilmiah yang bisa disiasati selain mengadu senjata.
Jubah perang juga harus dikenakan untuk membalas penindasan, walaupun konsekwensi dari perang adalah pembunuhan. Nyawa tidak seberharga sekarang. Merah darah adalah warna favorit pada masanya.
Orang-orang dulu gemar dengan senjata mungkin sebagai kompensasi dari sempitnya pilihan-pilihan hedonistik, seperti kurang piknik, tidak ada hiburan, tidak ada paket wisata, tak ada media sosial, tidak ada mobile legends atau mortal kombat.
Perang menjadi game, cabang olahraga, penyaluran energi, bahkan pertunjukan seni. Perang menjadi tamasya, menjadi media percakapan antar suku, menjadi pendakian jiwa menuju klimaks: selebrasi kemenangan, karena berhasil membunuh lebih banyak, dan tentu saja rampasan dan pampasan perang.
Untuk tidak menolak sejarah dogma, perang dapat dimungkinkan bagi membalas kezaliman dan pengusiran. Juga kaitannya dengan kolonialisme dan nasionalisme. Di lain waktu perang adalah misi suci di hadapan Tuhan. Perang melahirkan pahlawan.
Di luar itu, perang adalah nalar wajar pada zaman ketika ia menjadi megatren dunia sepanjang abad-abad kegelapan. Masa ketika senjata mengambil alih urusan otak dan akal budi.
Tapi anehnya orang-orang sekarang masih ada yang berperang. Perang dianggap sebagai shortcut sambil menutup jalan lain. Padahal kita tidak sedang terusir dari bumi, masih banyak tempat untuk meneruskan kehidupan.
Akar dari perang adalah kepemilikan dalam seluruh definisi serta pemaksaan ide. Dan tanpa sadar mereka sedang dimanfaatkan.
Di antara mereka telah membaca Agresionisme atau semisalnya, adalah teori filsafat yang menyatakan bahwa satu-satunya penyebab perang sesungguhnya adalah sifat agresif manusia.
Manusia mempertahankan sikap agresif dari bawah sadarnya, yang diturunkan oleh DNA moyang kita: Sapiens, spesies penakluk di semua belantara.