Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mati Terhormat Cara Andrew Carnegie

8 Agustus 2021   18:52 Diperbarui: 8 Agustus 2021   20:29 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ingin terhormat, meninggallah dengan harta yang sudah tersalurkan untuk banyak orang. Untuk kemanusiaan. Jika meninggal dan Anda tetap kaya, Anda sangat hina.

Itu yang dikatakan sang crazy rich asal Skotlandia, Andrew Carnegie (1835-1919) dalam artikelnya The Gospel of Wealth. Andrew tidak hanya berucap, ia melakukannya. Di atas muka bumi modern ini, belum ada yang menandinginya.

Ia memercayai Gospel of Wealth yang berarti orang-orang kaya wajib mengembalikan uangnya kepada masyarakat. Yang paling terlihat, Andrew telah membangun 2.000 perpustakaan di seluruh dunia.

Pada 1911, 90 persen kekayaannya telah disumbangkan lewat Carnegie Corporation untuk membantu perguruan tinggi, sejumlah sekolah, dan lembaga peradilan.

Ayat-ayat tidak berdusta, dan semesta pun tak ingkar janji. Orang-orang super kaya seperti George Soros, Warren Buffet, Carlos Slim, Jeff Bezos, Steve Ballmer, Mark Zuckerberg, Larry Ellison, dan Michael Bloomberg, adalah sekaligus dermawan paling tidak masuk akal. Hitungannya triliunan rupiah.

Pada 600 SM, Filsuf Tiongkok Lao-Zu sudah mengingatkan, jika ingin mengambil, Anda harus memberi lebih dulu. Inilah awal mula kecerdasan. Ini menjadi sulit dalam pakem rasional.

Tidak dibicarakan dalam ilmu ekonomi manapun. Tidak ada dalam kredo Adam Smith, tidak tertulis dalam buku politik ekonomi David Ricardo, atau teori moneter Irving Fisher dan John M. Keynes.

Seperti membalikkan cara berpikir Adam Smith, Bapak Ekonomi yang satu puak dengannya. Smith menulis The Wealth of Nation yang berpaku pada kekuatan kapital untuk menghasilkan pelipatgandaan profit, Andrew datang dengan The Gospel of Wealth, berupa pengurasan kekayaan pribadi demi kehidupan.

Orang-orang kaya harus melepas prinsip dasar ilmu ekonomi untuk sampai ke taraf filantrofis. Memberi tanpa pamrih, tanpa ekspekstasi pada profit adalah wilayah belief system, mencakup ke dalam dogma dan metafisika.

Teori-teori ekonomi nyaris tidak memberi peluang bagi nilai tambah kemanusiaan, sampai itu terlihat berguna. Orang-orang kaya yang bertahan pada kredo prinsip ekonominya, justru akan mengenggam uangnya ketat-ketat di pintu gerbang krisis ekonomi dunia.

Resesi akan berkepanjangan, dan mereka saling tunggu. Ketika ekonomi dunia sedang genting, pemilik modal justru membalik badan.

Bila target pasar, skalabilitas, rasio pengembalian investasi, produk dan rivalitas, serta kemampuan adaptasi tidak dapat dinalar secara ekonomi, maka tidak ada investasi baru, tidak ada lapangan kerja baru.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang bakal tumbuh. Inilah akibat penggunaan logika dalam prinsip ekonomi.

Kita terutama Indonesia yang sedang payah membutuhkan lebih banyak filantropis. Yang tidak hanya menunjukkan batang hidung di musim kampanye dengan banyak kamera. Bila perlu datanglah sebagai pahlawan bertopeng di seluruh musim.

Seperti Andrew yang menginspirasi para filantrofis di dunia barat sehingga rela menyumbangkan hingga 90 atau minimal 50 persen kekayaannya bagi kemanusiaan. Indonesia belum punya itu, kecuali yang tercatat adalah pendiri Mayapada Group,  Dato' Sri Tahir.

Gates, Buffet, Zuckerberg, Rockefeller, Turner, Tahir telah sangat percaya bahwa "Giving Makes You Happy". 

Mereka adalah murid-murid pemilik hati malaikat: Andrew Carnegie. Berderma bagi mereka telah memberikan kebahagiaan dan makna hidup yang sangat besar kepada manusia yang melakukannya.

Memberi bagi Andrew tidak sekadar merogoh kocek atau gugur kewajiban, sehingga ia lebih fokus pada pendidikan dan keadilan. Seperti pameo klasik, beri pancingnya bukan ikannya.

Pendapat Friedrich Nietzsche pula dapat memberikan alternatif: jangan sekali-kali berurusan dengan pengemis! Sesungguhnya, memberi kepada mereka hanya akan membawa kejengkelan semata, dan tidak memberi pun tetap akan membawa kejengkelan.

Bagaimana jika pengemis itu punya KTP dan tercatat sebagai peserta pemilu pak Nietzsche? ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun