Resesi akan berkepanjangan, dan mereka saling tunggu. Ketika ekonomi dunia sedang genting, pemilik modal justru membalik badan.
Bila target pasar, skalabilitas, rasio pengembalian investasi, produk dan rivalitas, serta kemampuan adaptasi tidak dapat dinalar secara ekonomi, maka tidak ada investasi baru, tidak ada lapangan kerja baru.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang bakal tumbuh. Inilah akibat penggunaan logika dalam prinsip ekonomi.
Kita terutama Indonesia yang sedang payah membutuhkan lebih banyak filantropis. Yang tidak hanya menunjukkan batang hidung di musim kampanye dengan banyak kamera. Bila perlu datanglah sebagai pahlawan bertopeng di seluruh musim.
Seperti Andrew yang menginspirasi para filantrofis di dunia barat sehingga rela menyumbangkan hingga 90 atau minimal 50 persen kekayaannya bagi kemanusiaan. Indonesia belum punya itu, kecuali yang tercatat adalah pendiri Mayapada Group, Â Dato' Sri Tahir.
Gates, Buffet, Zuckerberg, Rockefeller, Turner, Tahir telah sangat percaya bahwa "Giving Makes You Happy".Â
Mereka adalah murid-murid pemilik hati malaikat: Andrew Carnegie. Berderma bagi mereka telah memberikan kebahagiaan dan makna hidup yang sangat besar kepada manusia yang melakukannya.
Memberi bagi Andrew tidak sekadar merogoh kocek atau gugur kewajiban, sehingga ia lebih fokus pada pendidikan dan keadilan. Seperti pameo klasik, beri pancingnya bukan ikannya.
Pendapat Friedrich Nietzsche pula dapat memberikan alternatif: jangan sekali-kali berurusan dengan pengemis! Sesungguhnya, memberi kepada mereka hanya akan membawa kejengkelan semata, dan tidak memberi pun tetap akan membawa kejengkelan.
Bagaimana jika pengemis itu punya KTP dan tercatat sebagai peserta pemilu pak Nietzsche? ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H