Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kembali ke Filosofi Sebuah Kota

1 Agustus 2021   15:10 Diperbarui: 2 Agustus 2021   13:21 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: frenchdreamtown

Padahal para filosof telah menaruh harapan besar pada kota. Tidak ada filosofi di luar kota. Filsafat tidak sesuai dengan keluarga dan otoritas paternal, dengan suku dan kekuasaan para tetua, penyihir, dan dengan semua jenis wacana yang datang dari luar, atau yang mendahului logos (A philosophical idea of the city, Yale University, 2003).


Artinya hanya kota menjadi tempat bagi musim semi percakapan filsafat, tidak ada setelahnya. Seperti Miletos dan Athena, kota harusnya menjadi lokus holisme yang membelakangi semua ide-ide parsial dan berpotensi cul de sac.

Kota hari ini adalah pusat aglomerasi segelintir orang, dengan tata ruang yang memihak kekuatan dominan. Pergeseran makna dari public goods menjadi private goods sebagai akibat dari keniscayaan laju sejarah neoliberalisme menjadi pendorong kontradiksi setua sejarahnya.

Sesungguhnya dalam cita-cita filosofisnya, kota dibangun untuk menyejahterakan masyarakat seluruh lapisan serta tempat bernaung dan berhimpun penduduknya secara humanis dalam prinsip kesetaraan (equal opportunity). Bukan kota distopia yang megapolis apalagi tyranopolis.

Dalam sebuah cerita indah yang disebut Lambang Kota, Franz Kafka berbicara tentang Menara Babel, mengatakan bahwa tujuan penting dari kapitalis di kota adalah untuk membangun sebuah menara yang akan mencapai langit.

Ada satu, proyek akhir, umum untuk semua. Itu gagal. Menara runtuh. Dan dari runtuhnya menara muncul keragaman: kota. Menara Babel bukanlah sebuah kota, tetapi reruntuhannya adalah sebuah kota. Ini adalah kota yang ingin ia  pertahankan, meskipun kadang-kadang tampaknya terbang di hadapan bukti, melawan retakan paten antara urb dan civitas.

Kota kita hari ini menjadi retakan yang rapuh, tak kuat menahan badai. Cengeng dan pikun. Kota tidak dibangun dengan filsafat, kota tidak menawarkan kesetaraan tapi perlombaan, bahkan medan pembantaian.

Kota tidak lagi punya cita-cita filosofis, kekayaan kota ditimbun menjadi menara setinggi langit. Menara itu harusnya runtuh, agar puing-puingnya menjadi batu bata bagi membangun rumah bersama, dan penghuni kota bisa dikenyangkan dengan lauk bergizi agar kuat berkelahi dengan virus. ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun