Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bernegara Cara Stoa dan Sinisisme

5 Juni 2021   12:17 Diperbarui: 29 Januari 2024   17:52 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: cdn.shopify.com

Socrates punya istri bernama Xantippe, wanita paling pemarah di Athena. Socrates bahkan menjadi sasaran kemarahan setengah Athena, tapi kemarahan istrinya melebihi Dewa Ares. Socrates tidak bereaksi, wajahnya sangat datar. Bahkan saat kematiannya tiba _dihukum meminum racun cemara_ ia tidak berekspresi. Tidak ada yang bisa menebak.

Socrates adalah cerminan kaum Stoa meski aliran filsafat ini dicetus oleh Zeno Citium tiga generasi setelahnya, seorang murid jauh Plato. Zeno sangat terinspirasi oleh Socrates yang menemui ajal sebagai martir, tapi tidak menghadapinya sebagai ketakutan terbesar manusia.

Stoa atau lebih dikenal sebagai Stoikisme, adalah satu filosofi yang memadukan etika dan logika secara sekaligus. Etika memilih sikap hidup pasrah atau tawakal menerima keadaan dunia (apatheia) dan sikap tersebut adalah proyeksi dari kemampuan tertinggi logika manusia.

Stoa adalah yang paling lama dibicarakan di atas dunia untuk mengukur derajat kebijaksanaan. Seorang Sophis (bijak) harus mampu menekan emosi-emosi negatif yang merusak kebahagiaan dengan reaksi berlebihan.

Seorang Stoik dapat mengisolasi dimensi internal dirinya dari semua pengaruh eksternal. Ia adalah tuan terhormat bagi dirinya sendiri. Apabila seseorang berbuat buruk terhadapnya, lalu ia bereaksi untuk membalas, berarti ia telah kalah. Ia telah tunduk, ia berada di posisi inferior, meski hanya ditunjukkan oleh perubahan ekspresi atau bahasa tubuh.

Maka tidak akan pernah mudah menjadi seorang Socrates, menjadi para nabi, atau menjadi seorang Budha. Bahkan aliran-aliran sunyi yang mirip setelahnya seperti sufisme, zenisme, determinisme, dan aliran stoik modern, atau yang belakangan di antaranya Quantum Ikhlas yang dimodifikasi oleh Erbe Sentanu, harus dikerjakan dengan disiplin tinggi.

Tak apapun yang dapat memengaruhi suasana hati seorang Stoik kecuali ia lah yang menginginkannya. Bagi mereka, Tuhan sebagai Logos Universal telah menata keseluruhan gerak alam sebagai bagian dari tenunan estetik, senegatif apapun kelihatannya. Dan mereka sangat yakin, hukum kausalitas akan berbicara pada waktunya.

Selain Seneca, Cicero, tokoh Stoik yang amat dikenang adalah Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi (161-180 M). Pikirannya sangat kontemplatif. Satu ujarannya yang dicatat adalah "Anda memiliki kekuatan atas pikiran Anda, bukan kejadian di luar. Sadarilah ini, dan Anda akan menemukan kekuatan (itu)".

Di tengah kecamuk dan kekacauan perang di seluruh Eropa, ia tetap bereaksi datar dan tabah, bahkan tidak menganggu usaha filsafatnya setiap malam, selama menulis  buku berjudul Meditations hingga empat jilid. Buku ini berisi pentingnya seorang pejabat publik melakukan perenungan diri supaya dalam memerintah ia memiliki ketenangan batin, dan berjiwa pengorbanan.

Bagi Seneca, Cicero, dan Marcus Aurelius, seperti ditulis dalam Great Books of the Western World (London: Encyclopedia Britannica, Inc., 2003), seseorang yang memegang jabatan politik harus memiliki integritas diri. Pemerintahan yang baik seharusnya bukan hanya dihuni orang-orang yang tahu kebijaksanaan _seperti pernah digagas oleh Plato dalam sistem pemerintahan Aristokrasi_, melainkan harus juga seorang sophis, yaitu orang yang benar-benar melakukan kebijaksanaan (yang berbahaya bila kedua unsur ini bahkan tidak ada).

Pecahan (simpangan) dari stoik adalah sinisisme (sinicism). Mazhab ini tidak hanya membatu pada luaran yang negatif, bahkan yang terbaik sekalipun. Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan kepada sesuatu yang acak atau mengambang. Kaum Sinis menolak kebahagiaan dari kekayaan, kekuatan, kesehatan, dan kesohoran.

Sebagaimana telah dibuktikan dengan sangat mencengangkan oleh Diogenes, seorang filosof yang hidup di dalam tong. Siapa yang tak kenal Alexander Agung, seorang tiran yang menguasai separuh dunia, suatu hari mendatangi Diogenes, demi melihat filsuf besar ini dengan banyak hadiah.

Alexander datang pada saat yang tidak tepat. Diogenes sedang menikmati cahaya matahari, sebagai kemewahan terbesar bagi hidupnya. Alexander bertanya, apa yang dapat dilakukan untuknya. Diogenes menjawab, "Menyingkirlah dari cahayaku!", karena Sang Raja Agung menghalangi sinar matahari.

Di tengah kohesi sosial kekinian serba virtual yang nirbatas, ketika semua telah terhubung dengan interaksi serba klik, ketika semua informasi negatif melintas detik per detik, mampukah kita tetap setenang Socrates? Adakah pendamba surga yang juga ingin memenangi dunia? Dengan kata kunci tetap tenang dan anti panik. Bila dunia tempat ujian menuju surga, nikmati saja kezaliman yang menimpa, tanpa berteriak, merintih, mengeluh, bahkan menghujat berlebihan.

Adakah pemimpin sejati seperti Marcus Aurelius yang bergelimang kebijaksanaan dan pengorbanan di antara para demagog? Adakah yang setegar Diogenes di tengah para pembungkuk yang mendambakan hadiah dari tuan raja.

Adakah kaki tangan politik elektoral yang menolak hadiah jabatan Komisaris BUMN meski mereka tahu, ini hanya akan menambah beban, ketika sebagian besar BUMN mendapat stigma lembaga benalu, sapi perah, koruptif, dan tumpukan catatan historis kegagalan negara dalam mengurus perusahaan?, dan banyak lagi pertanyaan. ~ MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun