Bahasa Melayu sesuai tabiat Lingua Franca, tergolong rakus dan sangat moderat, sampai ia kemudian melewati kanal sempit para otoritas penyusun KBBI. Tubuh bahasa kita masih terbilang ceking dengan hanya 127.000 kosakata pada kemampuan menyerap hanya 1.000 kosakata baru per tahun. Bandingkan dengan bahasa Inggris yang sudah mencapai lebih satu juta kosakata dengan pertambahan 8.500 kata per tahun.
Saya tidak mendapat landasan logis mengapa bahasa Inggris dipukul, ketika seharusnya dirangkul, mestinya cepat-cepat dimasukkan ke dalam kosakata baru bahasa Indonesia. Kepalang basah, saya mengamati hampir 70 persen bahasa resmi Indonesia diambil dari bahasa Inggris dan asing lainnya tanpa kita menyadarinya. Bahkan kosakata bahasa Inggris itu  tanpa sadar digunakan untuk mengecam bahasa Inggris yang belum dijinakkan.
"Jangan banyak bacot!", ini terdengar sangat Betawi, padahal BACOT adalah akronim dari Bad Attitude Control of Tongue. Kata "bacot" mewakili bahasa Inggris yang sudah kita ambil tanpa sadar, karena sudah sangat lekat dengan lidah Indonesia, seolah-olah itu bahasa asli kita. Membacot dalam istilah Melayu dikenal sebagai membebel, bebel seolah-olah asli Melayu, padahal dipetik dari kata bubble, yang berarti membual atau mengoceh.
Sedikit contoh misalnya naif (naive), kalem (calm), resep (recipe), salut (salute), berus (brush), keras (crusty) debut, gelas (glass), lampu (lamp), nuansa (nuance), bumerang (boomerang), kultus (cult), bias, tabu (taboo), amuk (amok/amuck), raun (round), balon (ballon), buku (book), pena (pen), Â pensil (pencil), koma (coma), dilema (dillema), fakta (fact), sinis (cynic), idola (idol), paradigma (paradigm), plastik (plastic), arkais (archaic), topik (topic), beranda (verandah), rutin (routine) unik (unique), blunder, sila teruskan. Itu baru Inggris, belum Arab, Portugis, Spanyol, Belanda, China, Persia, dan apa saja yang seolah-olah bermuasal dari lidah Indonesia.
Bila kita melihat dari kacamata etimologi, kebanggaan berbahasa Indonesia menjadi terpelanting, mengenang frasa "Bahasa Indonesia" saja sudah terdiri dari tiga suku kata yang diimpor dari India dan Yunani. Bahasa berasal dari bhasa (Sangskerta), dan kata Indonesia berasal dari Yunani yakni Indo dan Nesie yang berarti Kepulauan Hindia.
Lain soal bila kita melihatnya dari kacamata politik bahasa, atau politik kebangsaan, pendekatan yang digunakan akan berbeda. Politik berbicara tentang klaim dan pengakuan, tentang menang dan kalah. Politik berakar dari pseudosains (seolah-olah ilmiah) dari suatu proses yang semu. Yang kemudian kita dapatkan adalah kebanggaan semu.
Maka, seperti kata seru dentuman besar inti kosmos yang tak terucap, bahasa akhir zaman para umat kosmo milenial kemungkinan berubah menjadi bahasa pemrograman tak terucap semacam Python, Java, Ruby atau Visual Basic, yang merambat secara nibatas. Sementara politik bahasa tetap tertinggal di wilayah semunya. ~ MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H