Demokrasi punya sepupu jauh bernama kapitalisme. Di Amerika sendiri kapitalisme bukanlah kerabat yang baik. Ia berusaha mendorong proses demokrasi diruda-paksa oleh kekuatan modal. Ini pula yang terjadi di Indonesia sebagai anak bawang. Bila Amerika terus mempertahankan model ini, maka ia akan terus digilas oleh Tiongkok _yang di sisi lain dipimpin diktator Xi Jinping_ namun tertutupi oleh model meritokrasi: mengutamakan kepakaran melebihi apapun.
Lalu apa solusinya untuk Indonesia? Pembatasan jabatan presiden jadi satu periode perlu dipertimbangkan, agar ia segera terbebas dari hegemoni politik dari semua arah. Selain itu adalah menggagas Magna Carta jilid dua. Magna Carta jilid pertama yang terjadi di Inggris pada 1215 telah melucuti sebagian kekuasaan absolut King John, maka untuk Indonesia kita perlu membatasi kewenangan presiden, menjadi setara Ratu Inggris Elizabeth II atau Presiden Singapura Halimah Yacob.
(Singapura tidaklah benar-benar sempurna, akhirnya tergelincir pada godaan politik dinasti. Goh Chok Tong mewariskan takhta perdana menteri kepada sang putra mahkota, Lee Hsien Loong. Sepanjang mereka dapat membuktikan kepakarannya, kesempurnaan itu dapat ditunda. Di Indonesia dinasti politik tidak pernah didukung oleh fakta empiris macam ini, sehingga tidak relevan).
Dengan ruang gerak yang dipersempit seperti Inggris dan Singapura, kepala negara hanya mengurusi hal-hal yang bersifat seremonial dan formalitas saja, meskipun diberikan sedikit hak veto terkait penyelidikan korupsi dan seremonial pelantikan kabinet atas rumusan dewan pakar independen, bukan partai politik.
Selanjutnya kabinet dikelola secara scientific. Negara kemudian dapat berjalan dengan profesional dan terbebas dari gangguan politik. Di tahap awal barangkali akan terjadi perdebatan soal presidensial dan parlementer. Tapi itu hanya proses, bukan tujuan.
Monarki dan demokrasi hanyalah plasma, tapi inti dari plasma itu adalah negara ilmiah. Demokrasi elektoral pada tahap ini gunanya hanya untuk pemuasan romantisme antara mental feodal dengan jelata yang butuh pujaan, kelindan abadi antara patron dan klien, kohesi tradisional antara superior dan inferior, yang dikemas dalam paket terbatas.
Biarkan masyarakat yang butuh kultus individu mengusulkan pujaannya, karena jika pun salah pilih dan absurd, negara tetap berjalan secara prosedur ilmiah dan terukur. Presiden tidak lagi ikut berpikir, untuk hal-hal yang di luar kemampuan otaknya. Sehingga dengan demikian tak layak dipersalahkan.
Pada akhirnya tindak tanduk presiden tak lagi paling dipercakapkan di media sosial. Tidak ada lagi orang yang akan menyanjung atau menghujat presiden dalam setiap fenomena istana. Media sosial tak lagi menjadi mahkamah bagi setiap inci kelakuan presiden. Dan pertengkaran - pertengkaran politik menggelikan antar elit dan sesama jelata, akan lenyap dengan sendirinya. Kita pun kembali dapat menghirup udara segar kesantunan sesama anak bangsa. ~MNT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI