Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Politisi Diklaster agar Negara Berjalan Ilmiah?

10 April 2021   07:52 Diperbarui: 11 April 2021   07:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.poynter.org

Bahkan mungkin diksi-diksi politik abad ini dipakai sebagai eufemisme di balik tabiat kolektif cara sirkus guna mempertahankan atau mengambil kekuasaan. Atau ketika manusia-manusia politik yang sedang membonceng dan dihidupi oleh negara menciptakan teori kebenarannya sendiri. Mereka merilis drama-drama dan memborong semua peran protagonis.

Negara harus dibersihkan dari akar-akar politik kekuasaan dengan seperangkat teori-teori kelirunya yang jauh dari esensi. Kita bisa memegang dua konsep politik. Pertama, pandangan klasik Aristoteles yang mengemukakan bahwa politik digunakan untuk mencapai suatu kebaikan bersama yang dianggap memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada kepentingan di luar itu.

Kedua, pandangan modern Max Weber, bahwa politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ia melihat negara dari sudut pandang yuridis formal yang statis dan memperkenalkan suatu bentuk ideal (ideal type) untuk negara modern dan rasional.

Konsep Aristoteles mempersyaratkan penyelenggara negara yang bijak serta bermoral tinggi dan Weber menginginkan negara dikelola secara ilmiah, bebas dari sentuhan-sentuhan politik yang karut dan distopis.

Unit-unit kerja profesional dalam suatu negara seperti aparat hukum harus dijauhkan dari suruhan-suruhan politik oleh satu atau sekelompok elite yang sulit beradaptasi dengan konsep negara modern versi Weber sekaligus filsafat moral negara yang diamanatkan Aristoteles.

Bila kita bermimpi memiliki negara dengan mengadopsi konsep moral sekaligus modern, maka negara harus memiliki sistem imun yang kuat untuk memfilter masuknya unsur-unsur negatif ke dalam tubuhnya yang dikirim atau diteriaki dari luar pagar oleh partai politik.

Partai politik atau parpol mestilah hanya mesin yang berfungsi memproduksi dan merekomendasikan anak-anak bangsa terbaik untuk dipekerjakan ke dalam negara. Bila parpol gagal melakukan hal ini, eksistensinya mesti dipertanyakan, ditiadakan bahkan dihukum.

Parpol harus bisa menggeser kuadrannya sebagai bagian dari solusi utopia, bukan malah menggelayut pada puncak kekuasaan dan susunan akrobat kabinet serta lembaga tinggi sepanjang periode. Parpol lebih tepat difungsikan sebagai roket pendorong dan segera lepas, ketika pesawat ruang angkasa sudah melewati atmosfer.

Presiden dan jabatan eksekutif di bawahnya yang terpilih secara elektoral, hendaklah dibatasi hanya satu periode, karena hampir semua petahana, akan menggerakkan unit-unit dalam negara sebagai alat mempertahankan kekuasaannya, dan proses demokrasi tidak akan mungkin bisa berjalan adil (fair play) sebanyak apapun narasi karut yang ditumpuk untuk membantah fakta ini.

Negara ilmiah juga bisa dijalankan dengan autopilot. Secara logika, sistem dalam suatu negara dapat berjalan tanpa adanya kehadiran pemimpin. Autopilot lebih dikenal sebagai sistem navigasi, mekanikal, elektrikal, atau hidrolik yang memandu sebuah kendaraan tanpa campur tangan dari manusia.

Bila negara sudah memiliki cetak biru dan hanya dikelola oleh manusia-manusia bermartabat dan profesional, tidak akan jadi soal apakah kemudian presiden atau bupati hanya ditugasi sebagai pembaca teks pidato atau penggunting pita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun