Dari sinilah para murid Barat _tapi dengan tujuan untuk menentangnya_ ini belajar ide-ide tentang anti despotisme kerajaan, cikal-bakal liberalisme politik dan ide demokrasi, dengan tokoh-tokohnya seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Leibniz, Voltaire, Antoine Condorcet, David Hume, JJ. Rousseau, Immanuel Kant, dan seterusnya.
Filsafat Fasisme Jepang tercoret otomatis, meski sempat singgah di Indonesia. Aliran Fasis-Militerisme ini bukan ajaran Mussolini atau Nietzsche tapi berasal dari Bushido warisan kaum Samurai. Lagi pula Fasisme memang tidak layak diadopsi sekaligus tidak relevan.
Ketika jadi presiden, Soekarno menawarkan dialektika Demokrasi Terpimpin yang dinilai sesuai dengan kultur Indonesia, lalu proposal tentang Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunisme). Namun gagasan ini tidak selesai, menyusul karir politik Soekarno yang segera tamat.
Ia terjepit ketika filsafat Marhainisme-nya tampak sebahu dan lalu hanya condong ke komunisme gagasan Marx. Ia digantikan oleh Soeharto yang pragmatis, dan oleh sejumlah kalangan dicap anti filsafat.
Soeharto menyetop semua gagasan filsafat Barat yang berpotensi subversif, tapi menarik kuat-kuat modal investasi dari kantung mereka. Untuk ekonomi Indonesia yang sedang collaps ketika itu, Soeharto adalah sang Bapak Pembangunan. Tapi saat bersamaan filsafat sedang melewati era vakum.
Pancasila sebagai deorama filsafat dunia, di bawah "stabilitas politik" Soeharto mengalami pendangkalan bukan main, hanya berakhir sebagai hapalan dan etika keseharian.
Tinjau: Tiap Sila dalam Pancasila Berpotensi Saling Meniadakan
Menurut Ferry Hidayat dalam Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, pendangkalan itu dapat dijejak dalam Buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan buku teks penataran P4 (Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Buku yang diajarkan pada mahasiswa baru ini dinilai mereduksi makna awal 'Pancasila' yang dulu dirumuskan para founding fathers Indonesia dengan pernak-pernik yang progresif dan revolusioner menjadi hanya serpihan-serpihan kecil etiket sehari-hari yang pasif dan frigid.
Di era Soeharto filsafat dianggap telah mati, kecuali hanya beberapa filosof teoritis. Yang agak menonjol dan mirip kaum sufisme pelat merah zaman kerajaan adalah Nurcholish Madjid.
Ia menggagas filsafat sekularistik. Filsafat ini memisahkan antara transendental dan temporal. Tuhan dan agama masuk dalam domain transendental, sedangkan dunia adalah wilayah temporal. Sehingga agama hanya menjadi urusan rakyat, dan negara menjadi urusan Soeharto.