Sejarah pertarungan intelektual di bawah matahari peradaban barangkali hanya ada di Indonesia, ketika sehimpun filosof duduk bersama dalam satu forum agung sepanjang interval 1945 hingga 1959. Perang urat syaraf terpanjang ini layak disebut sebagai The Age of Philosophical Race atau Zaman Pertarungan Filsafat.
Para patriot pemikir menguji argumen guna menemukan falsafah ideal negara dari aliran filsafat yang berbagai-bagai. Ada empat sumbu gagasan yang mengemuka dalam debat filsafat di meja rapat ini. Dari filsafat Religius muncul nama Haji Agoes Salim. K.H. Mas Mansoer, dan Parada Harahap, filsafat Sosialis-Nasionalisme di antaranya Soekarno, Hatta, dan Muhammad Yamin, lalu filsafat Nasionalisme Moderat (modifikasi dari filsafat Nusantara) yang tampil di antaranya Ki Hajar Dewantara, K.R.M.T.A Woerjaningrat, dan Soekardjo Wirjopranoto.
Dalam dua kali kemuncak pertarungan yakni sidang BPUPKI dan rapat Majelis Konstituante, para pemikir Marxisme-Leninisme seperti Sang Madilog Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin hanya muncul pada Majelis Konstituante. Mereka bergerak di bawah tanah usai gagalnya Revolusi Banten 1926.
Sejarah Indonesia telah bersentuhan dengan empat lapis kronologi filsafat, dimulai mitologi Nusantara sebagai embrio, muncul dari kebudayaan neolitik yang berkisah tentang Asal Usul Alam Semesta, dan ternyata tak jauh beda dengan mitologi Barat terutama Yunani.
Lalu filsafat Timur (konfusionisme, hinduisme, budhisme) dan filsafat Islam lewat sufisme dari al Ghazali dan al Arabi. Aliran spiritual mistikus ini agak menyerupai aliran pasrah seperti fatalisme, determinisme, atau stoikisme. Al Ghazali ternyata tidak mencoret seluruh filsafat dari kamus Islam, hanya terutama kepada neoplatonisme yang menganggap Tuhan terlalu tinggi untuk mengurus alam semesta.
Di era sufisme inilah Indonesia mengalami fase kolonialisasi, sehingga sufisme berbelok dari sikap ridha - zuhud menjadi futuwwah (kesatriaan) di antaranya terproyesikan pada spirit penyerangan pangkalan maritim Belanda di Teluk Ketapang (Malaka) pada tahun 1784 oleh Raja Haji Fisabilillah, Perang Diponegoro (1825), dan Peristiwa Cilegon 1888, saat anggota tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah menyerukan perang suci melawan Olanda. Pejuang-pejuang sufi lainnya seperti Abd Al-Shamad al_Palembangi dan Teungku Syeikh Saman Tiro berkibar kemudian di antara banyak lainnya.
Sayangnya Sufisme kemudian diperalat oleh feodalisme untuk memblokade sedapat mungkin usaha-usaha subversif atau perisai daulat para raja. Hal ini kemudian memunculkan para reformis Islam abad pertengahan. Di Indonesia terdapat nama Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol.
Terakhir adalah filsafat Barat yang datang bersama dengan kolonialisasi yang sebenarnya tersendat lama. Para kolonial menyimpan filsafat moral Yunani, hingga Filsafat Renaisans dan Filsafat Enlightenment yang menjadi lentera kebangkitan akal di kampung asal mereka.
Filsafat ini disimpan sebagai aib karena tak mampu mencegah Daendels menjual tanah rakyat, tak sanggup melarang van den Bosch untuk menerapkan Kultuurstelsel (tanam-paksa) dan tak kuasa menahan Raffles untuk tidak bergabung bersama Douwes Dekker, Hoevel, dan Vollenhoven yang tercerahkan oleh filsafat tersebut, lalu melawan kejahatan kemanusiaan bernama Kultuurstelsel itu.Â
Politik Etis memberi kesempatan kepada para priayi dan orang kaya Indonesia untuk bersekolah di Belanda. Di antaranya Tan Malaka, Hatta, Syahrir, Semaun, Iwa Kusumasumantri, Zainal Abidin, dan Nazir Pamuntjak. Sekembalinya dari Belanda, mereka mendirikan kelompok studi seperti Algemene Studie Club, tempat Soekarno, Sartono, Sunarjo, dan lainnya menimba studi Filsafat Barat.