Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Sains Islam Hanya Bertahan 500 Tahun?

29 Maret 2021   09:48 Diperbarui: 29 Maret 2021   12:44 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: michaelrdjames.org

Ketika Barat masih merasa berhutang banyak kepada saintis klasik Muslim dan tak henti membicarakannya hingga di forum milenial, tak lagi terdengar kabar siapa pemegang estafet Ibnu Sina, Al Farabi, Al Kindi dan ratusan lainnya hingga kepada Musa al-Khawarizmi, Bapak Algoritma dunia dari Baghdad, yang darinya sistem komputer dan artificial intelligence (AI) bisa dikembangkan.  

Punahnya kaum pemikir di era Islam kontemporer tak semata dipicu oleh aneksasi Hulagu Khan yang membakar Baghdad dan menghanguskan semua buku, tapi juga anggukan terlalu keras kepada fatwa Al Ghazali yang memecat filsafat dari khazanah Islam. Meski kemudian ia menjadi Bapak Sufisme, yang sebenarnya adalah elemen dari filsafat, yang dalam level tertentu serupa dengan stoikisme dan fatalisme.

Ada semacam fobia bahwa filsafat akan terus bising untuk menagih landasan logis tentang ajaran Tuhan sehingga mendorong umat tersesat. Padahal teologi Islam telah dapat bercakap-cakap dengan filsafat dan hampir tidak dalam posisi saling meniadakan. Hanya sedikit ruang hampa tersisa, ruang transendental yang memang tak bisa dijejak oleh filsafat.

Filsafat tidak semata mengurus langit, ia juga dapat bercakap-cakap tentang bumi. Ia mampu mematah mitos, membantah etika palsu, membungkam feodalisme, memacu penyelidikan ilmu, serta mampu mengembalikan kejayaan Islam bagai lampau. Dengan mengingat Indonesia sebagai pemeluk Islam terbesar di dunia.

Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun sains. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat. Sayangnya, filsafat sedang tidak ada di sana, ia telah dihalau oleh politik kekuasaan.

Para oligarki sedang memanipulasi mitos-mitos tentang negara. Ada kawin silang antara politik dan filsafat, yang kita sebut filsafat politik, tapi itu tidak digunakan, karena ia mampu membongkar etika palsu yang sudah dibangun, tentang demokrasi bernafas feodalisme misalnya, dan banyak lagi hingga tak cukup semalam suntuk menulisnya.

Alexander the Great sebagai tiran paling epik penakluk dunia, telah mencecerkan buku-buku filsafatnya di jazirah Arab. Apa yang ia dapatkan hanyalah kekuasaan, bukan pikiran. Walaupun ia murid Aristoteles. ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun