Ketika Barat masih merasa berhutang banyak kepada saintis klasik Muslim dan tak henti membicarakannya hingga di forum milenial, tak lagi terdengar kabar siapa pemegang estafet Ibnu Sina, Al Farabi, Al Kindi dan ratusan lainnya hingga kepada Musa al-Khawarizmi, Bapak Algoritma dunia dari Baghdad, yang darinya sistem komputer dan artificial intelligence (AI) bisa dikembangkan. Â
Punahnya kaum pemikir di era Islam kontemporer tak semata dipicu oleh aneksasi Hulagu Khan yang membakar Baghdad dan menghanguskan semua buku, tapi juga anggukan terlalu keras kepada fatwa Al Ghazali yang memecat filsafat dari khazanah Islam. Meski kemudian ia menjadi Bapak Sufisme, yang sebenarnya adalah elemen dari filsafat, yang dalam level tertentu serupa dengan stoikisme dan fatalisme.
Ada semacam fobia bahwa filsafat akan terus bising untuk menagih landasan logis tentang ajaran Tuhan sehingga mendorong umat tersesat. Padahal teologi Islam telah dapat bercakap-cakap dengan filsafat dan hampir tidak dalam posisi saling meniadakan. Hanya sedikit ruang hampa tersisa, ruang transendental yang memang tak bisa dijejak oleh filsafat.
Filsafat tidak semata mengurus langit, ia juga dapat bercakap-cakap tentang bumi. Ia mampu mematah mitos, membantah etika palsu, membungkam feodalisme, memacu penyelidikan ilmu, serta mampu mengembalikan kejayaan Islam bagai lampau. Dengan mengingat Indonesia sebagai pemeluk Islam terbesar di dunia.
Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun sains. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat. Sayangnya, filsafat sedang tidak ada di sana, ia telah dihalau oleh politik kekuasaan.
Para oligarki sedang memanipulasi mitos-mitos tentang negara. Ada kawin silang antara politik dan filsafat, yang kita sebut filsafat politik, tapi itu tidak digunakan, karena ia mampu membongkar etika palsu yang sudah dibangun, tentang demokrasi bernafas feodalisme misalnya, dan banyak lagi hingga tak cukup semalam suntuk menulisnya.
Alexander the Great sebagai tiran paling epik penakluk dunia, telah mencecerkan buku-buku filsafatnya di jazirah Arab. Apa yang ia dapatkan hanyalah kekuasaan, bukan pikiran. Walaupun ia murid Aristoteles. ~MNT