Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Yakin, Kita Punya Kehendak Bebas?

13 Maret 2021   16:29 Diperbarui: 14 Maret 2021   08:17 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tak punya kehendak bebas untuk mencintai siapapun. Semua itu adalah impuls dari reaksi kimia di dalam otak kita. Siti Nurbaya dipaksa oleh Datuk Maringgih, tapi Romeo dan Juliet (jika menikah) dipaksa oleh cinta, sesuatu yang berada di luar kendali mereka. Sesuatu yang bukan kehendak bebas. Qais bahkan menjadi majnun, karena tak kuasa melawan cinta pada Laila. Apakah kita membuat jadwal untuk membenci seseorang pada Kamis pagi pukul delapan?

Apalagi? Bahkan pengemudi serampangan sekalipun yang merasa paling punya kehendak bebas, sedang dalam kendali penuh entitas di atasnya. Kita menyebutnya Tuhan. Tuhan yang mengikatnya untuk menabrak seseorang sebagai cara mati, atau cara mati untuk dirinya sendiri, atau dia selalu diselamatkan karena jalan ajalnya berbeda.

Babak humanisme hampir benar-benar tamat. Ketika bermunculan para ahli yang menyebut kehendak bebas hanyalah ilusi setelah terhasut oleh Darwin, Huxley, dan Einstein. Pikiran kita tidak nyata, kata Profesor Donald Hoffman.

Kita benar-benar dalam manipulasi semesta. Artinya Sartre dkk sedang dirumahkan oleh pemikir modern dan klasik sekaligus. Terimpit di tengah-tengah dan meninggalkan pemujanya dalam kebingungan. Apakah kemanusiaan kita akan tamat. Ilmu budaya dan penyelidikan akal budi harus permisi?

Menurut William Klemm, PhD, para ilmuan telah membuat serangkaian eksprimen untuk membuktikan bahwa otak membuat keputusan bawah sadar sebelum ia menyadarinya. Dalam eksperimen tipikal yang mendukung kehendak bebas ilusif, seorang subjek diminta menekan tombol secara bebas kapan saja dan memperhatikan posisi penanda jam bila dia merasa menghendaki terlebih dahulu gerakan untuk menekan tombol tersebut.

Pada waktu yang sama, aktivitas otak dimonitor tepat pada bagian pengendali mekanika gerakan. Hasil observasi ini mengejutkan, ternyata subjek memperlihatkan perubahan aktivitas otak sebelum dia berniat membuat gerakan. Dengan kata lain, alam bawah sadar diduga terlebih dahulu menerbitkan perintah sebelum pikiran sadar sempat memutuskan untuk bergerak.

Mari kita lakukan penyelidikan mandiri, di mana kita benar-benar menggunakan kehendak bebas. Para determinis menyebut kita telah dan sedang dalam pengendalian penuh Tuhan, dan para sekuleris ultra modern, sebutlah Bostrom dari Oxford, Terrile dari Nasa, dan Elon Musk si Raja Tesla, punya landasan logis untuk mengatakan bahwa kita sedang berada dalam dunia simulasi di bawah pengawasan entitas superior di luar sana. Lalu oleh para saintis, kehendak bebas dianggap sebagai ilusi.

Siapa pemenangnya? Kita bisa menguji metode Quantum Ikhlas yang dikembangkan Erbe Sentanu. Dinyatakan, seluruh masalah di dunia ini lebih mudah diselesaikan dengan metode pasrah kepada Sang Pengatur. Gelombang otak kita harus satu frekwensi dengan Tuhan dan semesta.

Di sini kehendak bebas harus dibebaskan, karena mungkin benar-benar tidak ada, hanya ilusi. Pula dalam metode tindakan tepat, naluri selalu lebih unggul dari kehendak bebas. Bila demikian, haruskah semua buku tentang kemanusiaan ditulis ulang? Lalu semua penyair dan budayawan dipecat oleh peradaban?. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun