Cukup menjadi manusia untuk melihat benar dan salah dalam percakapan bernegara. Siapapun presidennya. Orang yang pikirannya terpenjara akan ambigu, dibatasi oleh jenama yang melekat pada persona dirinya, meringkuk abadi di dalam kotak sempit dan membuat penyangkalan atas fakta.
Sekarang bola panas itu bernama Buzzer Politik Bayaran. Secara teknis mereka tidak perlu disalahkan. Mereka hanya oportunis yang butuh makan dengan fasilitas sultan. Mereka punya alasan logis untuk melakukan hal itu. Lalu kita apa?
Sebagian kita jadi denial, menyangkal fakta hanya karena satu frame dengan kekuasaan. Tidak lebih dari itu. Kecuali kita dalam lingkaran oligarki atau tentakel yang mengisap manisnya gula-gula kekuasaan, sehingga menjadi tampak logis secara pragmatik. Siapa pun presidennya, kalau salah dikritik, kalau benar diapresiasi. Di mana sulitnya?
Rakyat dalam demokrasi itu dituntut tidak hanya bebas secara fisik tapi juga pikiran. Manusia paripurna, ubermensch yang disebut Nietzsche adalah orang yang pikirannya tidak terkungkung dan sadar akan derajat personanya.
Kita hanya  rakyat, __saya membuat coretan untuk menegaskan__ begitu kita memilih demokrasi, kata hanya diganti menjadi adalah. Ini adalah pertempuran antara langit dan bumi. Dalam kancah demokrasi, masyarakat adalah tuan dan puan. Demokrasi adalah seruan bumi, untuk membungkam kekuasaan langit.
Dahulu kala, para kaisar mengambil legitimasi langit untuk menindas rakyat. Bumi pun melakukan perlawanan, tidak hanya semisal penyerbuan Bastille di Prancis, atau amuk Hang Jebat, tapi mencoret para feodalis sebagai pewaris langit. Tidak ada lagi monarki absolut yang menindas.
Klausul baru pun diterbitkan. Vox populi, vox dei, suara rakyat (kini) adalah suara Tuhan, kata Robert Ferguson. Bukan lagi kaisar yang berhak membuat seruan atas nama langit, tapi dan seharusnya adalah rakyat. Secara teknis, raja-raja hidup mewah dari rakyat lewat cukai dan upeti, lalu di mana logikanya seorang penguasa harus dijunjung oleh rakyat, yang telah memberi mereka makan besar.
Inilah fakta, inilah demokrasi yang sedang kita jalani, mau tidak mau. Atau kemudian sejarah akan menuduh kita sebagai inferior feodalis yang berpura-pura, sebagai rakyat tidak pernah sadar tentang harkat dirinya. Kufur sepanjang hayat.
Epos Melayu telah menawarkan rekonsiliasi purbawi, 1. raja adil raja disembah dan 2. raja zalim raja disanggah. Ini adalah proposal yang cerdas pada zamannya, tapi lihat lah, kita hampir tidak melakukan yang kedua. Kita denial. Saya tidak menemukan landasan logis mengapa ada orang yang melakukan ini, selogis yang dilakukan para buzzer bayaran.
Dalam logika demokrasi, pemimpin bukan untuk dikultuskan. Tapi ditempatkan pada posisinya untuk mengemban tugas dari rakyat. Pemimpin telah dimuliakan oleh singgasana dan fasilitas yang dimilikinya. Itu semua ditebus dengan uang rakyat di dalam pundi Negara. Rakyat telah membayar kontan, giliran pemimpin mencicilnya dengan unjuk prestasi. Bukan mendiamkan korupsi, atau membagi-bagi jatah kolusi.